28.7 C
Palu
19 Maret 2024
Para Penyintas

Rahim Marhab: Sejarah Akan Bicara Kebenaran

Namaku Rahim Marhab. Aku lahir dari pasangan Marhab dan Ntokea di Bambelamo, Parigi, pada 1941. Aku merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku seorang perempuan bernama Saho, sedangkan kakak kedua adalah lelaki bernama Hajasa. Ayahku hanyalah seorang pengrajin perhiasan emas dan perak di Poso. Pekerjaan ayah itulah yang menghidupi aku sekeluarga. Ayahku sendiri meninggal dunia saat aku kecil, jadilah ibu dan kakak perempuanku sebagai tulang punggung keluarga, karena ibu dan kakak perempuanku kebetulan bisa menjahit pakaian dan memintal benang. Setelah tinggal beberapa tahun di Poso, akhirnya pada 1946 aku kembali ke Parigi. Sekembalinya dari Parigi itulah kakakku mengalami sakit keras hingga meninggal. Sedih rasanya ditinggalkan kakak sekaligus salah satu tulang punggung keluarga.

Pada 1952 aku masuk SR (Sekolah Rakyat) di Parigi dan tamat enam tahun kemudian dengan predikat terbaik. Setelah itu aku langsung melanjutkan pendidikan ke SMP Parigi, namun hanya beberapa bulan saja, karena ibu yang menjadi satu-satunya tempatku bergantung meninggalkanku untuk selamanya. Terpaksa. Kata itulah yang mungki pantas untuk menggambarkan diriku ketika harus berhenti saat di bangku SMP. Hingga pada 1959 aku memutuskan untuk pergi ke Poso dengan menumpang kapal KM Budi Setia dan akhirnya melanjutkan pendidikan SMP disana. Di Poso inilah aku bertemu dengan Yakob Lamajuda, orang yang mengenalkanku pada ajaran Marxisme. Saat itu Yakob menjadi lurah di Kayamanya. Karena masih mempunyai hubungan keluarga dengan ayah, Yakob menyuruhku tinggal di rumahnya. Di rumah Yakob inilah perjumpaan pertamaku dengan buku ABC Politik yang berisi ajaran Marxisme dan buku BMB (Bagaimana Masyarakat Berkembang), dan buku-buku  yang berisi etika dan moral komunis. Buku-buku tersebut mengenalkanku pada ajaran Marxisme, hingga membuatku tertarik dengan ajaran itu.

Aku memutuskan untuk bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Poso pada 1961. Karena pertimbangan umur yang belum sesuai dengan ketentuan dan syarat keanggotaan, baru pada awal 1962 aku disumpah menjadi anggota partai. Sebenarnya pada pertengahan 1962 setelah lulus sebagai lulusan terbaik, sempat disarankan oleh ipar paman untuk masuk ke sekolah pelayaran, namun aku menolak dan memilih untuk kembali ke kampung halaman di Bambalemo. Setelah di Bambalemo aku menemui Committe Sub Seksi Parigi PKI Bung Hasan Tungenge untuk mendirikan Committe Resort PKI di Bambalemo. Tepat pada 12 Oktober 1962 berdirilah Committe Resort PKI di Bambalemo, lalu aku ditunjuk sebagai sekretaris dan Simin B. Pulo sebagai wakil.

Pada awal 1963 didirikan pula Committe Resort  PKI Parigi Tengah yang wilayahnya dari Desa Kampal sampai Desa Sidole. Saat itu aku terpilih menjadi wakil sekretaris. Karena kemajuan perkembangan organisasi, akhirnya Dai Borahima diangkat jadi ketua Barisan Tani Indonesia (BTI) di Pantai Timur yang sekarang Kabupaten Parimo, dan aku akhirnya menggantikan posisinya sebagai sekretaris. Setelah awal 1964 diadakan konfrensi Committe Seksi PKI Parigi, terpilihlah beberapa nama untuk mengemban amanah partai; Sidin Umar (sekretaris), Hasan Tungege (wakil sekretaris), Ukas Abdullah (kepala sekretariat), Maks Lumanto dan aku sendiri terpilih sebagai dewan harian Committe Seksi PKI Parigi.

Banyak alasan yang membuatku mau bergabung dengan partai ini, salah satunya adalah metode 3M yang diterapkan dalam partai. Metode 3M artinya: merangkul, membatasi, dan menggunakan. Selain itu, partai ini juga mengajarkan kepadaku bagaimana pengabdian pada masyarakat merupakan tujuan utama dari semua perjuangan. Inilah inti sumpah yang harus kuucapkan ketika memutuskan untuk menjadi bagian dari partai ini. Tujuan ini sama seperti yang diajarkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara, “Di depan kita harus bisa memberikan contoh, di tengah kita harus bisa bekerja sama, dan di belakang kita harus bisa mendorong.” Aku benar-benar menerapkan ajaran komunis ini, karena aku pikir ajaran ini sangat hebat sekali apabila benar-benar diterapkan di masyarakat. Aku harus siap membantu siapa saja dengan tidak melihat kelas sosial mereka. Dalam ajaran partai kita tidak boleh membeda-bedakan manusia, karena manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi salah kalau orang bilang komunis itu anti-Tuhan, karena aku tidak pernah diajarkan seperti itu dalam partai. Bahkan sebelum peristiwa 65, banyak orang yang menganggap kami orang-orang komunis sebagai orang yang tidak percaya Tuhan atau tidak beragama. Itu salah besar!

Dalam tubuh PKI aku bisa melihat para anggota yang rela turba (turun ke bawah) untuk melihat sendiri keadaan masyarakat, sehingga segala gambaran dan kondisi masyarakat yang sesungguhnya tidak ia dapatkan dari orang lain melainkan didapatkan oleh dirinya sendiri. Mereka tidak hanya mengetahui dan melihat sendiri kondisi masyarakat tapi juga harus merubah keadaan yang masih terbelakang itu. Pernah suatu ketika aku melihat masjid di Siniu yang atapnya rusak, sampai-sampai apabila hujan datang lantai masjid seperti menjadi kubangan-kubangan kecil. Hal tersebut tentu saja sangat mengganggu jamaah yang hendak solat di sana. Segera saja aku mengutarakan niatku untuk memperbaiki atap masjid itu kepada Kepala Desa. Aku katakan kepada kepala desa pada hari minggu teman-teman dari BTI berniat untuk memperbaiki atap masjid yang rusak. Karena di kampung kita banyak daun sagu, jadi aku minta mereka untuk menjahit daun sagu untuk menambal atap masjid yang rusak itu. Setelah disetujui oleh Kepala Desa, pada hari minggu akhirnya kami memperbaiki atap masjid itu. Sejak pagi hari sudah banyak makanan yang datang sampai melimpah, karena memang aku suruh mereka untuk membawa makanan.

Antusiasme yang diperlihatkan angota-anggota BTI dalam memperbaiki atap masjid itu membuat orang PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan NU (Nahdhatul Ulama) mengatakan “kata kalian mereka tidak beragama, tapi mereka mau memperbaiki masjid, kalau bukan mereka siapa lagi yang mau melakukan ini.” Sebenarnya dari golongan lain juga banyak yang mau membantu untuk memperbaiki atap-atap itu, tetapi mereka kelihatannya malu. Mungkin malu karena yang sedang memperbaiki adalah  orang-orang PKI yang mereka anggap tidak beragama. Setelah selesai memperbaiki atap masjid, kami juga memperbaiki atap balai desa yang kondisinya tidak berbeda dengan atap masjid itu. Apa yang kami lakukan dilihat sebagai aksi nyata turba yang diajarkan oleh partai, kami harus selalu siap untuk saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu masyarakat bisa merasakan betul keberadaan partai, tidak hanya mengurusi masalah kekuasaan saja. Aksi tersebut tidak pernah aku temukan di partai lain.

Berbekal tamat KKGSP (Kursus Kilat Guru Sekolah Partai) yang dilaksanakan di rumah Hasan Tungenge dan gedung SD kuberanikan diri membuka sekolah partai di Silanga. Sayang, malam harinya gedung tersebut sudah dilempari orang. Padahal hari pertama saja sudah dua puluh orang yang berniat belajar. Setelah kejadian tersebut aku langsung mengembalikan tutor-tutor yang berasal dari Gerwani seperti Aminah, Sabiha, Pihu, dan Sapina ke sekretariatnya. Aku tak mau para tutor ini menjadi sasaran keberingasan mereka juga. Aku sendiri bingung mengapa orang-orang bertindak seperti itu, padahal niatku hanya ingin membantu masyarakat yang masih banyak buta huruf. Walaupun dapat perlakuan seperti itu, aku tetap nekat meneruskan sekolah partai. Setelah ketua partai di Siniu, Lamunuri, mendengar kabar itu ia langsung mengirimkan ajudan dan memerintahkanku untuk memindahkan sekolah partai ke Siniu. Pak Lamunuri bilang, “Di Silanga orang-orangnya tidak punya pikiran, manusia masih mau membunuh manusia juga.” Hal tersebut tentu saja  sangat membahayakan jiwa anggota partai.

Sekolah partai di Siniu pada awalnya hanya diikuti beberapa orang saja, namun lambat laun muridnya mencapai 300 orang. Dari jumlah yang 300 orang itu, kami bagi ke dalam beberapa kelas yang setiap kelasnya berisi 20 orang. Mereka datang dari berbagai lapisan dan umur, bahkan ada yang masih buta huruf. Mereka kami ajarkan ajaran marxisme yang telah terangkum dalam buku ABC Politik.  Bahkan aku tidak perlu menyediakan buku itu, karena di sini buku sudah tersebar luas. Jadi aku hanya membimbing mereka untuk lebih memahami isinya. Tidak seperti sekolah-sekolah formal yang memakan waktu lama, sekolah partai hanya membutuhkan waktu 10 hari saja. Setelah 10 hari proses pembelajaran, setiap orang mendapatkan semacam sertifikat sebagai tanda penghargaan yang isinya kira-kira telah menyelesaikan pendidikan sekolah partai dengan baik. Wajah-wajah berseri yang dipenuhi rasa bahagia mereka tampilkan saat menerima sertifikat tamat itu. Sederhana memang, namun sepertinya bagi mereka pendidikan yang didapat dari sekolah partai sangat berguna di masyarakat dan aku sangat mengharapkan mereka untuk mengamalkannya di masyarakat.

***

Dalam urusan cinta, aku mungkin punya pengalaman yang unik. Setelah menjalin cinta dengan beberapa perempuan akhirnya aku menikahi orang yang belum pernah aku pacari, Ida Nusiplo’o. Perempuan inilah yang sampai sekarang menjadi pendamping hidupku. Memang terdengar aneh, tetapi bila dicermati, sebenarnya aku menikahinya bukan karena didasarkan oleh cinta seperti layaknya pasangan-pasangan lain. Aku menikahinya karena amanat dan perintah dari partai.

Sebenarnya pada saat itu aku punya kekasih juga di Ampibabo, namanya Ibonia. Ibonia berperawakan pendek, berkulit putih, dan berambut panjang. Aku sudah sempat meminang wanita itu. Awalnya kami bertemu saat aku sedang mencari alang-alang, setelah saling berpapasan dan mencuri pandang aku merasakan ada hal yang berbededa dalam hati. Sejak pertemuan yang pertama itu aku langsung jatuh hati dan langsung berniat untuk menjadikannya pasangan hidupku di kemudian hari.

Dengan mengayuh sepeda yang kubawa saat mencari alang-alang itu, aku berusaha mengejar Ibonia. Kutanya setiap orang yang aku temui, kuberi tahu ciri fisik Ibonia setiap aku bertanya kepada orang-orang, hanya demi untuk mengetahui gadis ini. Setelah beberapa waktu mencari, akhirnya aku bisa menemukan rumah Ibonia yang jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat awal kami bertemu. Sambutan yang diberikan keluarganya pun sangat hangat. Pernah sekali waktu aku menyambangi rumahnya lagi, karena sudah larut malam orang tuanya menyuruhku untuk menginap saja dengan alasan berbahaya kalau memaksakan pulang ke rumah. Aku sempat kaget karena ternyata kami masih punya hubungan keluarga, kuketahui itu saat bertemu di acara podoa (tahlilan) karena salah satu keluarga ada yang kesurupan. Tidak butuh waktu lama akhirnya aku mengutarakan niat untuk menjadikannya pasangan hidup. Bersama pamanku aku datangi rumahnya lagi dan dia langsung menerima pinanganku. Lalu kami sepakati dalam waktu enam bulan setelah lamaran aku akan menikahinya.

Namun setelah itu tiba-tiba datang utusan dari Bambalemo yang meminta aku untuk menemui Maselo di Parigi. Aku katakan pada utusan itu bahwa aku tidak lama lagi akan menikah, lalu dia bertanya, “Bung mau jadi pendekar keluarga atau pendekar bangsa?” lalu kujawab “Menjadi pendekar bangsa.” “Ya sudah berangkat sekarang!” kata utusan itu. Setelah itu aku pamit kepada Ibonia. Bahkan kami sempat berfoto bersama. Inilah awal perpisahan kami, rencana pernikahan yang telah kami rencanakan tidak pernah bisa terwujud. Setelah perpisahan itu Ibonia mendapatkan kabar bahwa aku dibawa ke Poso dan ditembak disana. Seseorang mengabari aku bahwa Ibonia sangat terpukul mendengar berita itu. Tiga bulan ia sakit, sampai-sampai rambut yang di kepalanya rontok semua karena mendengar kabar buruk tentang diriku. Pernah suatu kali datang seorang utusan dari keluarga Ibonia yang memerintahkan aku untuk datang dan menikah, namun keadaan lagi-lagi tidak bisa mengizinkannya.

Setelah diinterogasi oleh Korem, CPM, dan bebas dari tahanan selama satu bulan di rutan Maesa di Palu akhirnya aku memutuskan kembali ke Ampibabo. Karena situasi yang tidak berpihak juga akhirnya aku tidak bisa bersatu lagi dengan Ibonia. Namun saat itu aku menemukan perempuan lain yang akhirnya kujadikan kekasih juga, namanya Hamra. Dengan Hamra aku merasakan cinta yang sama dalamnya seperti kepada Ibonia. Namun lagi-lagi dengan Hamra pula kisah cintaku kandas, karena tiba-tiba Yakob Lamajuda memerintahkanku untuk menikahi Ida Nusiplo’o.

Aku ingat pertama kali bertemu Ida, wanita yang akhirnya aku nikahi, waktu itu ia datang ke sini pada akhir 1967 saat mencari Ruswanto, suaminya yang sampai sekarang tak ada kabarnya. Awalnya ia ingin ke Gorontalo lewat Parigi dengan mengendarai kapal laut untuk mencari suaminya itu, namun ia tidak bisa menemukan suaminya itu. Sebelum itu kawan-kawan yang sedang kerja paksa di gunung telah mengabarkan tentang rencana kedatangan Ida. Mereka mengatakan bahwa ibu wakil committe akan ke Parigi dan sebagai bagian dari solidaritas partai aku harus menjaganya. Ida kemudian tinggal di rumah Toli dengan ketiga anaknya. Selama Ida tinggal di rumah Toli aku selalu bolak-balik untuk melihat keadaan dia dan anak-anaknya. Aku tidak bisa setiap saat menjaganya karena pada saat itu aku sedang bekerja sebagai buruh bangunan di Kopel. Pada akhir 1968 Ida dibawa ke Palu oleh kopral Masmur. Waktu itu aku tidak bisa menyusulnya karena masih harus bekerja di proyek pembangunan. Setelah satu tahun di Palu, pada akhir 1969 akhirnya Ida kembali lagi. Saat itulah aku disarankan Yakob Lamajuda untuk menikahinya dengan alasan agar ada orang yang melindunginya. Maka, pada Maret 1970 aku menghadap Kepala Desa dengan maksud mengutarakan niat untuk menikahinya. Menikahi Ida seperti sebuah keharusan pada saat itu. Keadaan Ida yang telah memiliki tiga orang anak, serta keinginan untuk menjaga dan melindungi mereka benar-benar menjadi pertimbanganku. Jadi bukan hanya semata-mata karena perintah dari Yakob Lamajuda. Dengan kata lain, pada saat itu aku mengawini Ida bukan karena cinta birahi tetapi bentuk tanggung jawab dan solidaritasku terhadap partai. Kami tidak bisa mengharapkan siapapun untuk membantu atau melindungi Ida.

Aku memahami pernikahan dengan Ida sebagai sebuah kodrat, jadi aku hidup dengan tentram. Setelah bebas dari tahanan aku bawa dia ke manapun kupergi, mulai saat aku bekerja di Poso sampai Silae. Aku benar-benar menjalankan tugasku, baik sebagai seorang suami yang melindungi dia dan anak-anaknya maupun sebagai anggota partai. Dari pernikahan tersebut lahirlah anak pertama pada 1 Januari 1971 yang bernama Slamet Ria Akres, yang kedua Surahman, ketiga Murahman, keempat Yanti Priyatni, dan yang terakhir Sunaryansa. Aku tidak pernah berpikir untuk melepas tanggung jawab ataupun meninggalkannya. Aku memahami cinta sebagai bentuk dari tanggung jawab, tidak seperti cinta anak muda sekarang yang timbul karena desakan seksual.

***

Peristiwa politik 1965 yang terjadi di Jakarta berimbas sampai ke tempatku. PKI yang dianggap dalang dari penculikan para jendral angkatan darat mulai mendapat tekanan, tidak terkecuali aku sebagai anggotanya. Saat itu, aparat keamanan mulai melakukan “pembersihan” terhadap pihak-pihak yang terkait dengan PKI sampai ke daerah-daerah. Mungkin saja dengan tindakan itu mereka berharap PKI tidak akan membuat kekacauan lagi di Indonesia. Pada 16 Oktober kami dikumpulkan di kantor Kodim Poso dengan ketentuan tidak boleh mengadakan kegiatan politik. Malam, 18 Oktober 1965 kami kembali ke Parigi dengan menggunakan perahu layar bersama Comite Seksi PKI Poso, Yakob Lamajuda dan kami mendarat di Torue. Dari Torue kami berjalan kaki ke Bambalemo.Keadaan sudah sangat genting pada saat itu. 8 November 1965, saat aku sedang membakar batubata di perusahaan batubata milik W. Mambu, anggota kepolisian distrik Parinya, datang  masa aksi dari desa Pelawa yang berjumlah kurang lebih 300 orang. Mereka menangkap aku dengan kakakku Hajasa, Paman Harati, dan sepupuku Agi. Dengan serta-merta kami dipukuli oleh mereka dengan menggunakan kayu hitam hampir di seluruh tubuh kecuali telapak kaki dan jari kaki. Kepalaku dipukul sampai berdarah-darah. Setelah dua kali pingsan, baru aku dibawa ke kantor Polisi Distrik Parigi dan selama 10 hari lamanya kami harus mendekam dalam sel. Sesudah keluar dari sel setiap hari kami harus datang melapor pada Polisi Distrik Parigi dan Buterpra 1306-09 Parigi.

Desember 1965 aku dijemput oleh Kopral Efendi dan staf Korem Sulawesi Tengah dan langsung dibawa ke rutan Maesa di Palu. Di sana aku langsung dibawa ke Korem dan diinterogasi. Sampai empat hari lamanya aku diinterogasi oleh tim Teperda di Manado. Kalau ingat waktu itu aku merasa seperti dosen saja, karena aku diberi kursi tinggi dan mereka -yang semuanya berjumlah sembilan orang- duduk membentuk setengah lingkaran bergantian mengintrogasi. Mereka bertanya sejak kapan aku bergabung dengan PKI,  jabatan apa saja yang pernah aku tempati. Aku bilang aku pernah menjadi sekretaris committe resort, kemudian meningkat menjadi sekretaris committe sub seksi. Mereka bertanya apa itu sub seksi? Aku bilang itu berada di tingkat kecamatan. Setelah itu kubilang aku pernah ikut SP, KGP, sampai dengan SPDB. Dari kegiatan-kegiatan yang kuikuti itu aku belajar Marxisme. Satu lagi yang tidak akan aku lupa adalah mempelajari BMB (Bagaimana Masyarakat Berkembang). Aku menjelaskan panjang lebar tentang BMB itu, mulai dari sejarah manusia dari taman firdaus di surga sampai berkembangnya manusia di dunia yang fana ini. Materi interogasi seperti ini selalu diulang saat aku diinterogasi mulai dari Palu sampai Parigi, dan aku kembali memberikan jawaban dan penjelasan yang panjang lebar pula. Mulai dari interogasi di Manado sampai Parigi ini aku tidak lagi mendapat bogem mentah dari para interogator.  Setelah dari Palu lalu aku dibawa ke Manado.

Penangkapan ini tidak hanya terjadi pada diriku saja, tetapi juga terjadi pada anggota-anggota partai lainnya, dan semua pihak yang dicurigai sebagai bagian dari PKI. Pada Januari 1966 aku dan beberapa orang, antara lain Paliudo, Gerson Goni, Gusti Camang, Sapina, Samsiar dan Gusti Made akhirnya dibebaskan. Sesampainya di Parigi, aku diwajibkan untuk melapor ke Kepala Desa, Polisi Distrik Parigi, dan Buterpra 1306-09 Parigi. Setelah bebas dari tahanan akupun masih diharuskan wajib lapor. Pada awalnya aku diharuskan lapor empat kali dalam satu minggu, namun pada praktiknya hampir setiap hari aku harus melapor karena para petugas itu selalu mencariku untuk melapor. Baru pada 1978 aku bisa bebas dari wajib lapor.

Lelah rasanya karena harus menghadapi interogasi yang terus menerus, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lainnya. Para interogator itu seolah selalu mencari kesalahan diriku, namun aku yakin tidak ada yang salah dengan diriku, tidak juga dengan ajaran Marxisme yang aku dapat dari partai. Setiap ajaran yang aku terima tidak pernah merugikan orang lain atau masyarakat. Bahkan melalui partai aku dapat memahami bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan sosial. Tuduhan-tuduhan bahwa PKI Anti-Tuhan pun tidak pernah ada pada diriku. Kami masih mau memperbaiki atap masjid yang rusak, yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh anggota partai lain yang katanya berasaskan agama atau nasionalisme. Tidak cukupkah ini membuktikan bahwa kami bukan seorang atheis seperti yang mereka tuduhkan?

Bukan hanya aku sebagai mantan anggota PKI yang mendapat perlakuan tidak adil dari negara dan masyarakat, anak-anakku yang tidak berdosa ikut merasakan imbas dari peristiwa politik 65 itu. Dua anak laki-lakiku, Slamet Ria Akres dan Surahman, terpaksa diberhentikan dari sekolah hanya karena ayahnya seorang mantan PKI dan tahanan politik. Saat itu kedua anak lelakiku sedang duduk di SMA. Mereka menjadi korban dari stigma negatif atas PKI, padahal aku yakin saat itu mereka belum memahami betul apa yang terjadi kepada diri mereka.  Hal itu terjadi saat tahun 1970an, sebelum aku mendapat surat bebas dan terlepas dari kewajiban untuk wajib lapor.

Setelah keputusan bebas wajib lapor itu aku sedikit bisa bernafas lega, karena masyarakat sudah mulai bisa menerima diriku lagi dan stigma tentang mantan anggota PKI perlahan mulai hilang. Keluargaku, khususnya anak-anakku, mulai bisa mendapatkan hak dan kebebasannya juga. Seperti Sunaryansa yang berhasil menamatkan pendidikannya di Madrasah Aliyah dan Yanti Priyanti yang menamatkan pendidikannya di SMA Muhammadiyyah, bisa sekolah dengan tenang tanpa ada intimidasi dari pihak manapun.

Beban hidup yang aku harus hadapi sangat berat sekali. Segala tuduhan buruk yang dialamatkan diriku begitu menyita perasaan dan hatiku. Apabila tidak bisa menghadapi dan menyikapi segala cobaan ini dengan bijaksana mungkin aku sudah gila. Beruntungnya diriku bisa menghadapi semuanya dengan tenang. Aku selalu membuat humor kepada setiap orang yang menjadi lawan bicara saat berbincang, ini aku lakukan agar tidak stress menghadapi semuanya. Sampai berumur 70 seperti ini aku masih suka berbincang dengan menantuku, suami dari Yanti, sampai jam satu malam. Kalau sudah begitu lupa rasanya dengan perasaan sakit yang pernah aku lalui. Berbincang dengan humor kepada orang lain seperti obat yang bisa menghilangkan rasa sakit dan kenangan pahit masa lalu.

***

Setelah reformasi bergulir dan kebebasan telah kudapatkan, aku bisa kembali diterima di masyarakat. Aku tidak sungkan bekerja sama dengan Kepala Desa di Bambelamo. Sampai sekarang aku masih menggunakan metode 3M yang pernah diajarkan oleh partai. Dengan metode ini aku bergaul sehari-hari dan bisa dekat dengan masyarakat. Pernah suatu kali tidak ada orang yang bisa membuat surat undangan pernikahan, dengan senang hati dan tidak sungkan membantu membuat surat undangan itu. Mereka juga tidak merasa malu atau enggan untuk dibantu oleh orang yang berstatus sebagai mantan tahanan dan mantan anggota PKI seperti diriku. Akhirnya aku merasa diterima kembali oleh masyarakat.

Sekarang aku sering diminta untuk menjadi penasihat perkawinan apabila ada masyarakat yang sedang melangsungkan pernikahan. Pada suatu kesempatan Kepala Desa pernah mengatakan dihadapan Camat, bahwa lebih baik memerintah seribu orang PKI daripada memerintah orang baik-baik seratus orang. Ini karena Kepala Desa sadar benar bahwa pembangunan di Bambalemo dipelopori oleh orang-orang seperti diriku, yaitu anggota PKI. Kami memang dididik untuk mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat, karena kami sadar bahwa kami bagian dari masyarakat dan harus selalu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.  Hilang sudah segala intimidasi dan stigma yang melekat pada diriku.

Akan tetapi aku sadar reformasi ini hanya menguntungkan salah satu pihak saja, yaitu kelompok yang sedang berkuasa. Jadi belum ada perubahan yang berarti yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Setelah reformasi dan kejatuhan rezim Soeharto pula aku tidak lagi takut berpolitik. Aku pernah menjadi pendukung partai Megawati Soekarnoputri, tetapi setelah aku lihat para simpatisan partai ini di Parigi tidak dengan sungguh-sungguh memperjuangkan rakyat, akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke Partai Demokrat. Di Partai Demokrat aku diterima dengan baik, aku tidak lagi disangkut-pautkan dengan PKI. Namun aku menolak untuk menduduki jabatan apapun di Partai Demokrat, aku hanya mau menjadi anggota biasa saja.

Selain aktif menjadi anggota salah satu partai, aku juga pernah menjadi tim sukses salah satu calon bupati di daerahku. Nama calon itu adalah Longki Janggola. Longki tidak pernah secara langsung menemuiku untuk menjadi bagian dari tim suksesnya, namun orang-orang yang menjadi tim sukses di daerahku yang meminta aku bergabung. Aku bergabung menjadi tim sukses bukan tanpa alasan, aku melihat cara-cara yang dilakukan dan program kerja Longki sangat baik. Bahkan tim sukses Longki di daerahku menganggapku sebagai orang tua. Pernah suatu waktu tim sukses Longki dipukul oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mungkin orang dari tim sukses calon bupati lain, saat sedang memasang baliho. Namun saat itu ada yang mengatakan bahwa ada Rahim yang jadi salah satu anggota tim sukses Longki, seketika itu juga orang-orang itu panik. Mereka sadar posisiku sebagai tokoh masyarakat di Bambelamo cukup membuat mereka ketakutan.

Saat ini aku tidak aktif dengan partai apapun juga. Bagiku, sekarang mendukung partai apapun tidak ada artinya lagi, seperti membuang garam ke lautan. Partai tidak lagi memberikan manfaat bagi rakyat yang katanya mereka bela. Sebuah perbuatan yang sia-sia apabila sekarang aku menjadi anggota partai. Aku memahami bahwa orang-orang yang akhirnya duduk menjadi wakil rakyat di DPR sering kali bertindak atas instruksi dari atasan, bukan didasari atas kepentingan rakyat banyak. Mereka yang berada di partai bukan orang-orang bodoh, mereka tahu aturan. Namun yang punya hati nurani mungkin masih terhitung sedikit. Ada juga bukti lain dari hilangnya stigma buruk tentang keluarga mantan PKI, dua orang anggota DPRD di daerahku, Parigi, merupakan anak-anak korban politik 65. Mereka juga orang-orang pintar, jadi aku tidak pernah ada niat untuk mengarahkan mereka. Aku percaya dengan kapasitas mereka.

***

Sedih memang bila aku harus mengingat masa lalu. Rasanya hati ini seperti disayat. Mengapa orang komunis seperti kami harus mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Beruntung aku masih bisa hidup sampai hari ini, banyak sekali kawan-kawanku yang mati atau hilang. Pernah suatu ketika aku mendengar kabar bahwa ada anggota Gerwani bernama Ruhia dari Olaya diperkosa oleh Polisi. Tak habis akal aku memikirkan hal itu, kenapa bisa seorang penegak hukum memperkosa wanita hanya karena berbeda ideologi. Aku masih ingat bagaimana anggota Gerwani itu terus menangis sampai kedua matanya membengkak saat menceritakan pemerkosaan itu.

Dengan umur yang telah mencapai angka 70 tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengabdi semampuku kepada masyarakat. Tidak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan, selain merawat tanaman-tanaman di sekeliling rumah. Sekarang yang menanggung hidupku adalah anak-anak yang telah hidup mandiri. Aku bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadaku dan keluarga. Pernikahanku dengan Ida yang pada awalnya adalah perintah dari partai ternyata mampu bertahan sampai sekarang. Dengan usia yang sudah sepuh seperti ini, Ida masih mau mendampingi dan merawatku sampai sekarang. Kami dapat hidup dengan tenang dan aman, tanpa harus menerima lagi segala bentuk intimidasi dan stigma buruk dari masyarakat. Sekarang masyarakat telah dapat menerima kami dengan tangan terbuka. Bahkan aku dianggap sebagai tokoh masyarakat yang sering kali dimintai pendapat. Tetapi aku selalu menolak untuk ditempatkan dalam posisi apapun dalam masyarakat atau dalam adat Kaili dimana aku tinggal sekarang. Karena aku sadar dengan usiaku yang sudah sepuh ini tidak banyak lagi yang bisa aku lakukan, aku takut menjadi penghambat.

Walaupun aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang karena aku seorang anggota partai komunis, sedikitpun tidak pernah ada rasa dendam kepada mereka. Sebagai seorang muslim, aku juga tahu sejarah Rasulullah SAW yang pada awal menjalankan ajaran Islam sangat dibenci oleh oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga ia terpakasa hijrah ke Madinah untuk menyelamatkan diri. Seorang nabi saja bisa diperlakukan oleh masyarakat seperti itu, apalagi aku yang hanya seorang komunis.

Namun aku sangat berharap peristiwa 65 dapat diselesaikan dengan baik, karena saat itu banyak terjadi pelanggaran. Seperti kekerasan dan intimidasi yang pernah aku alami. Aku pribadi berharap agar pemerintah bisa memberikan kompensasi dan merehabilitasi nama baik mereka yang pernah menjadi korban peristiwa itu. Harapanku yang terakhir, semoga saja tragedi tersebut tak akan pernah lagi terjadi di negara yang aku cintai, Indonesia. Biarlah sejarah menunjukkan kebenarannya.

Narasumber        : Rahim Marhab
Pewawancara     : Nurlaela Ak. Lamasitudju
Penulis Feature   : Akhmad Zakky

Tulisan terkait

Pemkot Gelar Rakor, Bahas Verifikasi Data Korban Pelanggaran HAM 65/66 di Kota Palu

Lia Fauziah

Hanya Engkau yang Kunanti

SKP-HAM Sulteng

Lokakakarya Membangun Dapur Usaha “Saatu Mombine Padagi”

Rini Lestari

Tinggalkan Komentar