32 C
Palu
19 Maret 2024
Aktivitas

Keringat dan Darah Untuk Palu: 17 Lokasi Kerja Paksa di Palu

Tragedi 1965 menyisakan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi orang-orang yang menjadi korban dari tragedi tersebut. Orang-orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja terlibat dan dilibatkan dalam Gerakan 30 September (G30S) mendapat perlakuan yang tidak adil dari pemerintah, masyarakat, bahkan lingkungan sekitarnya. Mereka mau tidak mau harus menerima stigma buruk yang disematkan oleh pemerintah dan masyarakat pada dirinya. Stigma buruk tersebut melekat pada diri mereka, sebagai akibat dari keterlibatan mereka baik secara sengaja maupun tidak dengan PKI yang oleh pemerintah dianggap sebagai dalang di balik G30S.

PKI diduga kuat oleh Angkatan Darat sebagai dalang dari G30S. Stigma sadis dan keji disematkan oleh Angkatan Darat kepada PKI atas penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan terhadap tujuh perwira tinggi Angkatan Darat. Stigma tersebut segera memancing amarah masyarakat yang kemudian serentak di berbagai daerah memberangus aktivis dan simpatisan PKI beserta segenap organisasi underbouwnya. Mereka yang terlibat dan diduga terlibat, ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.

Penangkapan dan penahanan terhadap aktivis dan simpatisan PKI berlangsung sampai tahun 1973. Dalam rentang waktu antara tahun 1965-1967, telah terjadi pula pembunuhan secara besar-besaran terhadap aktivis dan simpatisan PKI di berbagai daerah. Fakta yang menyebutkan jumlah korban dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu menyebutkan, jumlah keseluruhan korban antara tahun 1965-1966 mencapai angka 500.000 jiwa. Selain temuan fakta tersebut, masih banyak temuan ahli lainnya mengenai jumlah korban pembunuhan massal tersebut.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012, mengumumkan hasil penyelidikannya dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Dampak Tragedi 65 di Palu   

Peristiwa 1965/1966, yang diawali dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S) di Jakarta, berimbas nyaris merata di seluruh Indonesia. Gelombang protes dan demonstrasi yang menuntut pembubaran dan “pembersihan” Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta elemen-elemennya terjadi juga di Kota Palu. Protes dan demonstrasi ini berlangsung dari Oktober 1965 sampai Februari 1966, yang disusul dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap para anggota partai, anggota-anggota ormas yang berafiliasi dengan PKI, serta mereka yang dianggap sebagai simpatisannya.

Secara umum, ada empat gelombang penangkapan dan penahanan yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya. Penangkapan dan penahanan gelombang pertama terjadi di akhir 1965, gelombang kedua terjadi tahun 1966 dan 1967, Gelombang penangkapan dan penahanan ketiga terjadi tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1969 sampai tahun 1970, Gelombang penangkapan dan penahanan keempat terjadi tahun 1975, yang didasari oleh isu “Gerakan PKI Gaya Baru” yang berkembang di Sulawesi Tengah.

Adanya gelombang protes dan penangkapan terhadap mereka yang dituduh terkait dengan PKI tidak lantas menjadikan Kota Palu porak-poranda dan “banjir darah” sebagaimana yang terjadi di Sumatera, Jawa, Bali, atau di wilayah-wilayah Sulawesi lainnya. Situasi dan kondisi Kota Palu relatif cukup terkendali. Ketegangan dan ketakutan yang melanda masyarakat praktis hanya terjadi di bulan-bulan awal peristiwa, yaitu di akhir tahun 1965 sampai awal tahun 1966. Selanjutnya, keadaan relatif stabil dan terkendali walaupun tidak bisa dikatakan sepenuhnya tenang.

Berdasarkan cerita, pengakuan, dan kesaksian dari sejumlah korban dalam berbagai kesempatan—baik yang berupa wawancara, pertemuan korban, diskusi, dan di acara Forum Dengar Kesaksian—mereka mengalami berbagai tindakan dan perlakuan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Jika dikategorikan berdasarkan bentuk dan jenisnya, ada 16 bentuk dan jenis pelanggaran HAM yang terjadi terkait dengan Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu: (1) kerja paksa; (2) wajib lapor; (3) penyiksaan; (4) penangkapan sewenang-wenang; (5) penahanan sewenang-wenang; (6) pengambilan dan pemutusan sumber penghidupan; (7) perilaku kejam & tidak manusiawi; (8) pemerasan; (9) pencurian/penjarahan/perampokan barang milik; (10) pengadilan yang tidak adil; (11) pembiaran yang mengakibatkan kematian; (12) penghilangan paksa; (13) kekerasan seksual; (14) pembakaran dan pengrusakan rumah dan barang milik; (15) usaha eksekusi; dan (16) perkosaan.

Bagi mereka yang ditahan, bentuk hukuman lain yang harus mereka terima adalah kerja paksa. Kerja paksa ini berlaku baik untuk tahanan laki-laki maupun tahanan perempuan, yang membedakan hanya jenis pekerjaan dan waktunya. Mereka dipekerjapaksakan untuk membuat berbagai infrastruktur dan sarana publik di Kota Palu: jalan, jembatan, kantor-kantor pemerintahan, dan lain sebagainya. Tercatat ada 17 infrastruktur, sarana publik, dan sarana pemerintahan di Kota Palu yang dalam proses pembangunannya melibatkan kerja paksa para tahanan Peristiwa 1965/1966, di antaranya adalah Jembatan Satu Kali Palu, Bandar Udara Mutiara, Kantor Walikota Palu, Kantor Gubernur, dan Pelabuhan Pantoloan. Sebagian pembangunan infrastruktur yang melibatkan kerja paksa para tahanan itu ada di bawah koordinasi pemerintah provinsi melalui Komandan Zeni Angkatan Darat sebagai kontraktor proyek. Komando Kali Palu, yang dimulai pada Januari 1966, merupakan proyek pertama yang dikerjakan para tahanan sebelum diteruskan dengan serangkaian kerja paksa lanjutan yang berkepanjangan.

Terdapat 17 titik situs kerja paksa yang dilakukan oleh para tahanan politik 1965/1966 di Kota Palu antara 1966 hingga 1978, yaitu:

Komando Kali Palu (KKP)

Proyek KKP dikerjakan oleh para tahanan politik 65 antara tahun 1966-1967. Dalam proyek yang berlokasi di bantaran Sungai Palu tersebut, para tapol memulai pekerjaan membendung sungai tersebut, untuk mencegah terjadinya banjir besar, jika debit Sungai Palu meluap. Proyek tersebut dikerjakan di sekitar Rumah Susun di bantaran Sungai Palu, Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat saat ini. Salah satu mantan tapol, Asman Yodjodolo berkisah, pada periode 1960an tersebut, jika Sungai Palu meluap, kawasan Kelurahan Baru dan Kelurahan Lere yang berada di muara sungai, selalu terendam banjir besar. Proyek ini diawasi oleh sejumlah perwira dari KOREM 132 Tadulako, salah satunya Sersan Bantam. Dalam proyek ini, para tapol mengambil batu dari Buluri, Kecamatan Ulujadi saat ini, dan kayu penahan bronjong dari salah satu desa di wilayah Desa Sibowi, Kabupaten Sigi. 

Jalan Basuki Rahmat

Jalan Basuki Rahmat yang terletak di Kelurahan Tatura Utara dan Birobuli Utara, Kecamatan palu Selatan ini, merupakan salah satu jalan yang dibuka oleh para tapol, selama periode 1968-1970. Pengerjaan dimulai dengan pembukaan akses jalan. Pekerjaan ini memakan waktu selama 3-4 bulan, di bawah pengawasan Yonif 711 Raksatama. Untuk pekerjaan ini, sekitar 100-an orang yang menjalani wajib lapor dari Tawaeli, menjadi buruh kerja, yang setiap 10 hari kemudian diganti lagi. Mereka memasak sendiri dengan hanya diberi beras dan lauk, serta tidur di gedung SDN Tatura di Jl. I Gusti Ngurah Rai.

Jalan Abdulrahman Saleh

Pengerjaan jalan Abdulrahman Saleh, yang merupakan jalan menuju Bandara Mutiara palu, dikerjakan oleh para tapol, antara tahun 1968-1970.prosesnya hampir serupa dengan pekerjaan membuka Jalan Basuki Rahmat.

Detasemen Perlengkapan (Denpal) 13-12-02 Palu

Detasemen Perlengkapan (Denpal) 13-12-02 Palu, terletak di Jalan Pattimura, Kelurahan Lolu Utara.    Pada tahun 1969, para tapol melakukan rehab bangunan berukuran 8×6 m di lokasi tersebut selama kurang lebih 3 bulan. Pengakuan beberapa tapol seperti Asman Yodjodolo yang bertugas membongkar dinding, Baharudin yang memasang plafon, dibantu oleh 3 orang temannya yaitu, Manaf, Ukas Abdullah, serta Abd. Rahman Tandiangka.

Bandara Mutiara

Pengerjaan landasan pacu Bandara Mutiara Palu oleh para tapol, dilakukan pada tahun 1972. Untuk proyek tersebut, para tapol mengangkut batu menggunakan mobil truk tentara dari kuala/sungai Buluri, Kecamatan Ulujadi.

Asrama TNI Birobuli

Asrama TNI Birobuli yang terletak di Jalan Abdulrahman Saleh, Kelurahan Birobuli Utara, dikerjakan oleh para tapol pada tahun 1972.

Menara TVRI Palu

Pengerjaan menara TVRI ini dilakukan oleh para tapol selama periode tahun 1972-1973, dimulai dengan pembuatan pondasi hingga pemancangan menara.

Gedung Manggala Sakti

Gedung Manggala Sakti yang masih satu lokasi dengan kompleks Kantor Korem 132 Tadulako, Jalan Sudirman, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur, dikerjakan oleh para tapol pada sekitar tahun 1972.

Asrama Korem Tanamodindi

Asrama yang terletak di Jalan Djuanda, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur tersebut, dibangun sekitar tahun 1972.

Korem 132 Tadulako

Pengerjaan Kantor Korem 132 Tadulako dilakukan sekitar tahun 1972-1973. Pengerjaan tersebut dimulai dari pembuatan gambar desain bangunan oleh Marzuki, salah satu tapol yang sebelumnya bekerja di Dinas PU Poso. Pekerjaan ini dilakukan oleh sekitar 60an tapol secara bergantian dengan jam kerja dari 8 pagi hingga jam 8 malam dan masuk jam 8 malam hingga jam 8 pagi. Selama pengerjaan kantor tersebut, para tapol tidak mendapat istirahat yang cukup. Selain pengerjaan kantor, 13 orang tapol selama 4 tahun dipekerjakan untuk membuat mobiler (kursi, kayu, boks, dan lainnya).

Aula Batalyon 711 Raksatama

Proyek Aula Batalyon 711 Raksatama yang terletak di komplek Batalyon Infanteri 711, Jalan emi Saelan, Kelurahan Tatura Selatan, dikerjakan oleh para tapol pada periode 1972-1973.

Perumahan Gubernur

Perumahan Gubernur ini dikerjakan oleh para tapol sekitar tahun 1973 oleh sekitar 40 orang tapol, selama kurang lebih 4 bulan. Pondasinya dibangun di atas akar pohon sagu dan akar kelapa. Pengerjaan diawasi oleh Peltu Hontong. Pengerjaan mulai dari pembersihan lokasi sampai terima kunci. Pada pengerjaan aini, para tapol berbagi tugas, ada yang membuat batako, kusen, menyusun batu, dan lain sebagainya. Lokasi perumahan ini diperkirakan berada di sekitar Jalan Kartini, Kelurahan Lolu Selatan, Kecamatan Palu Timur.  

Jalan Veteran

Pengerjaan Jalan Veteran, Kelurahan Tanamodindi, Kecamatan Mantikulore ini, dilakukan pada sekitar tahun 1975 dengan panjang jalan yang dikerjakan sekitar 5 kilometer. Dalam pengerjaan yang memakan waktu sekitar 1-2 bulan ini, para pekerja setiap hari diberi uang untuk membeli makanan. Mereka mengaku, biasanya membeli daging sebagai lauk dan minum susu untuk mengembalikan tenaga. Selama proses pekerjaan tersebut, mereka diawasi oleh pengawas dari CPM bernama Serma Rukiman.

Pelabuhan Pantoloan

Pengerjaan Pelabuhan Pantoloan dilakukan sekitar tahun 1975 oleh para wajib lapor dari wilayah Pantoloan dan Pantoloan Boya. Pekerjaan yang dilakukan adalah pembuatan dermaga pelabuhan.

Taman GOR

Pengerjaan di lokasi Taman GOR dilakukan sekitar tahun 1975. Pekerjaan dilakukan selama kurang lebih 2-3 minggu. Para pekerja menggali lubang seukuran satu mata sekop, lalu memasang instalasi kabel untuk pemasangan lampu taman.

Kantor Gubernur Sulteng

Pekerjaan yang dilakukan oleh para tapol adalah melakukan pengecatan kantor, selama kurang lebih 1 bulan, sekitar tahun 1975. Selama melakukan pekerjaan tersebut, mereka tetap tidur di penjara, dan hanya diberi makan siang saat bekerja.

Kantor Wali Kota Palu

Proyek ini dikerjakan pada tahun 1978 selama satu tahun. Pengerjaannya mulai dari pembukaan lahan dengan melakukan penebangan sekitar 100 pohon kelapa, hingga pembuatan pondasi. Pekerjaan ini dilakukan oleh sekitar 20 orang tapol ditambah narapidana dari Rumah Tahanan (Rutan) palu di Jalan Bali, Kelurahan Lolu Utara. Dalam pengerjaan proyek ini, para pekerja tidur di barak. Pengerjaan Kantor Wali Kota ini merupakan pekerjaan terakhir yang melibatkan para tapol.

Sumber: Jefriantogie

Tulisan terkait

Pemulihan Korban Pelanggaran HAM 1965/1966 Pascabencana

Rini Lestari

16 Pelanggaran HAM Berat di Palu Periode 1965/1966

SKP-HAM Sulteng

Ragam Masalah Iringi Proses Relokasi ke Huntap

Jefrianto

Tinggalkan Komentar