Sebutir proyektil melesat mengenai mata kiri Destri. Seketika, gadis itu rubuh tak sadarkan diri.

Seorang pria berdiri tepat di pintu masuk, mengarahkan moncong senjata ke arah jemaat. Sejurus kemudian terdengar rentetan tembakan.Pria bersenjata itu membabi buta. “Door!!” Ledakan keras membahana dan orang-orang berhamburan. Ia berteriak, “Tuhan Yesus… toloooong… toloooong…” disusul tangis.

Suasana ibadah di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Jemaat Effatha, Jalan Banteng, Palu, Sulawesi Tengah, yang semula khidmat berubah jadi kepanikan. Begitulah peristiwa paling mengerikan yang dialami Destri dan membuatnya cacat seumur hidup.

Peristiwa itu terjadi 16 tahun yang lalu tepatnya Minggu, 18 Juli 2004.Tapi, suara tembakan dan teriakan histeris jemaat masih terngiang di telinganya sampai sekarang. Ia tak akan melupakan malam yang kelam kabut itu.

Pendeta Susianti Tinulele yang memimpin kebaktian meninggal dunia. Empat orang terluka, satu di antaranya adalah Destri, korban yang paling parah. “Saya awalnya tidak tahu kalau ada penyerangan. Orang-orang dalam gereja lari keluar semua.Yang saya liat dia (pelaku) membabi buta dengan senjatanya.Terus langsung hitam semua saya lihat, gelap,’’ cerita Destri.

Destri yang kala itu berusia 16 tahun berlumuran darah di wajah. Ia segera dilarikan ke RS Bala Keselamatan Palu, sekitar satu kilometer dari lokasi kejadian. Tim medis tergopoh-gopoh menjemputnya memberikan pertolongan. Bukan hanya mata, tapi juga bagian belakang kepala dan jarinya terluka parah. “Saya tidak tahu bahwa saya kena tembakan. Saya tahunya nanti di rumah sakit,’’ katanya, menerawang ke masa lalunya yang kelam itu.

Dua hari dirawat di RS Bala Keselamatan, dia kemudian dirujuk ke RS TNI AL dr Ramelan, Surabaya. Proyektil peluru masih bersarang tepat di mata kiri antara tulang hidung dan mata. Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan nyawanya, bola matanya harus diangkat.

“Saya tidak sadar kalau saya adalah korban.Waktu di rumah sakit saya mau buka mata tidak bisa.Saya hanya dengar letusan saat ibadah, dan tiba tiba sadarnya sudah di rumah sakit,’’ kenangnya.

Selama dua bulan dirawat di rumah sakit di Surabaya, dia tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada bola matanya yang ditutup perban. Pikirannya kalut. Rasa penasaran menghantuinya. Tanda tanya besar muncul dalam pikiran seperti apa kondisi matanya, sampai hari yang ditunggu pun tiba. Perban yang menutupi luka tembakan di matanya siap dibuka secara perlahan. Destri berusaha tenang dan mengatur napas saat dokter meminta membuka mata di depan cermin.

‘’Maaf saya tidak kuat kalau ingat itu.Sampai sekarang saya sedih kalau ingat perubahan mata dan wajahku ini,” katanya, menahan isak tangis.

Suaranya bergetar dan kemudian dia terdiam. Mulutnya seakan terkunci.Ia tidak kuat melanjutkan cerita saat-saat ia untuk kali pertama melihat perubahan wajahnya. Beberapa lembar tisu di meja diraihnya dan mengusap cairan bening yang terus meleleh dari kelopak matanya.

Sesaat kemudian, dia mengungkapkan rasa sedih yang menerpanya ketika menatap wajahnya di depan cermin.

Tubuhnya melemas bak kulit tanpa tulang. Jiwanya merontak, namun mulutnya bungkam, tak ada kata, hanya air mata. ‘’Pertama kali liat perban pas dibuka itu, ya tidak bisa bicara lagi, perasaan waktu itu tidak dapat lagi diungkapkan,” katanya yang kembali terisak.

Ia kembali membuka lembar kenangan pahit 16 tahun lalu. Saat ANTARA menemui di rumahnya, Kamis, 27 Agustus 2020, dia menunjukkan berkas dan dokumen saat dirawat di RS TNI AL dr Ramelan di Surabaya. Catatan rumah sakit itu mengingatkannya akan perjalanan bolak balik Palu-Surabaya selama sembilan tahun untuk kontrol kondisi kesehatannya.

Ada lima lembar foto yang tersisa. Jepretan proses pegobatan dia di rumah sakit ada empat foto. Sedangkan satu foto lain, potret setengah badan dua hari sebelum peristiwa penembakan. Foto-foto itu selalu membuat dia bergidik.

Ia ingat betul, kontrol masa pemulihan kesehatan di Surabaya yang dijalaninya selama sembilan tahun. Pada saat yang sama, berjuang menyelesaikan sekolah.

Destri lulus SMA pada 2005, satu tahun setelah kejadian. Keinginan untuk bekerja usai lulus sekolah memang ada, tapi dia ragu dengan keadaannya. Ia pesimis dan akhirnya menganggur. “Selesai lulus sekolah itu tidak tahu mau kerja di mana. Saya berpikiran tidak ada perusahaan yang menerima orang cacat seperti saya,” tutur dia

Dalam kekalutan hati, dia terus menyemangati dirinya. “Masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak seberuntung saya,” kata dia.

Bermodalkan semangat itu, perlahan muncul rasa percaya diri dalam dirinya. Ia memulai langkah kecil dalam hidupnya pasca peristiwa itu. Aktivitas pertama yang ia lakukan adalah memberanikan diri datang beribadah di gereja di mana dia menjadi salah satu korban teror dan kebaktian pagi hari jadi pilihan dia hingga sekarang.

“Saya tetap ibadah dan sampai sekarang saya ibadah di gereja yang sama. Tidak pindah, hanya saja saya masih trauma ibadah sore, selalu ikut ibadah pagi saja,” kata dia.

Tiga tahun kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan dia. Keberuntungan pada 2008 menghampiri dia. Ia diterima sebagai pegawai honorer di Sekretariat Pemerintah Kota Palu. Gaji kecil tidak mengait langkahnya untuk memasuki dunia kerja. “Bersyukur masih ada tawaran bekerja dan masih bisa bekerja,” ujarnya.

Semangat Destri pun maju mundur.Rasa tidak percaya diri sesekali muncul di pikirannya. Berdoa dan berserah kepada Tuhan akan mengubur dalam-dalam rasa malu. Harapan dan jawaban doalah yang membawa dia hingga sekarang. “Awalnya tidak percaya bisa bekerja yah.Meskipun saat itu gajinya kecil tapi saya tetap belerja hingga sekarang,” katanya.

Kisah tentang titik balik dia belum berakhir. Keberuntungan lagi-lagi menghampirinya. Pada 2010, seorang pria mempersuntingnya. Menceritakan kisah ini membuat tangis menjadi senyum semringah. Sejenak melupakan peristiwa pilu belasan tahun, dia melangsungkan pernikahan bersama kekasihnya.

“Awalnya hanya teman. Tiba-tiba menikah. Saya tanya dengan dia, kau terima kondisiku seperti ini? Terus dia jawab: ‘Saya terima kau apa adanya, kita mulai hidup baru bersama',” cerita dia disusul tawa bahagia.

Tahun-tahun masa pemulihan kondisi psikologisnya, dia banyak menikmati kebahagiaan. Baginya itu adalah jawaban doa dan buah kesabaran yang dihadapinya selama bertahun-tahun. Kebahagiaannya kian lengkap setelah dia dikaruniai anak. “Menjadi semangat baru bagi saya pribadi dan suami untuk menjalani kehidupan hingga saat ini.Ya, anakku sekarang sudah kelas 4 SD,” cerita dia

Meski begitu, peristiwa 16 tahun lalu itu masih menyiksanya. Mata dan hidungnya akan terasa perih jika terpapar terik matahari atau hawa dingin apalagi saat berkendara.

Teror lagi
“Duar…!!!” Sabtu, 31 Desember 2005, teror kembali terjadi. Kali ini, bom meledak di satu pasar di Jalan Sulawesi. “Bom meledak sekitar satu meter dari istri saya, membuatnya terlempar lumayan jauh, dan meninggal di tempat,” kata Daniel.

Ada 53 orang luka, sembilan orang meninggal dunia, salah satunya Agustina, istrinya. Peristiwa itu terjadi 17 bulan setelah peristiwa penembakan di Gereja GKST Jemaat Effatha.

Ia mengulang kenangannya, pagi itu pasar sesak pengunjung yang hendak berbelanja kebutuhan malam pergantian tahun. Ia dan istrinya, Agustina Mendey, juga berbelanja daging untuk merayakan malam pergantian tahun di rumahnya. Karena padatnya pengunjung, ia cukup berjarak dari sang istri saat berada di dalam pasar. “Ledakannya sangat keras,” kata dia, kepada ANTARA yang menemui dia di rumahnya, Kamis 3 September 2020.

Tiang-tiang patah disusul atap rubuh. Daging babi dan daging anjing yang sebelumnya terususun rapi berserakan di jalanan. “Saya juga luka di kaki kiri dan lengan kiri,” kata dia sembari menunjukkan bekas luka karena kejadian itu.

Kini, foto berdua bersama sang istri, berukuran 20 R dibingkai rapi dan dipajang di ruang tamu di rumahnya. Foto itu menjadi kenang-kenangan dia dan sang istri yang dinikahinya 16 tahun sebelum peristiwa bom memisahkannya.

Dari banyak kenangan bersama sang istri, satu hal yang tak bisa dia lupakan saat sang istri terbujur kaku di dalam peti dan disemayamkan di rumahnya. “Waktu disemayamkan di sini, anak saya terakhir, masih enam bulan menangis terus karena butuh ASI. Setiap anak saya menangis, pasti jenazah istri saya mengeluarkan air mata,” lanjut dia

Meski begitu, sama dengan Destri, tak ada dendam dalam diri pria berdarah Nusa Tenggara Timur itu. Ia juga mengajarkan pada empat anaknya agar tidak menaruh dendam di hati.Kejadian mengerikan itu juga tidak membuat dia trauma dan berniat meninggalkan Palu. Berserah diri kepada Tuhan dan percaya bahwa itulah jalan yang diberikan Tuhan kepadanya.

Ia berharap, kejadian tidak terulang.“Biar kami saja yang merasakan ini. Semoga tidak ada lagi korban korban selanjutnya.Mari kita hidup berdampingan,” pesan dia.
 

PP 35/2020: Angin Segar Penyintas
Destri dan Daniel melewati hari-hari yang panjang tanpa bantuan dari pemerintah, sebelum akhirnya terbit Peraturan Pemerintah Nomor 35/2020 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban. .

Sampai saat ini, Destri dan Daniel penyintas tidak memperoleh bantuan dari pemerintah berupa biaya pengobatan, rehabilitasi, hingga dukungan psikolog untuk membangun hidup. Padahal, UU Nomor 5/2018 tentang Perubahan UU 15/2003 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2002, jelas menyatakan, korban terorisme merupakan tanggung jawab negara.

Dalam UU Nomor 5/2018 disebutkan, “Memberikan pemenuhan hak-hak korban terorisme, yang meliputi, bantuan medis sesaat peristiwa, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, restitusi dan kompensasi.”

Sebenarnya, perlindungan saksi dan korban terorisme telah diatur dalam UU Nomor 31/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.Namun menyangkut kompensasi terhadap korban terorisme, UU Nomor 31/2014 tetap mengacu pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Secara teknis hal ini kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35/2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Subtansi PP ini seakan menjadi angin segar bagi ratusan penyintas aksi terorisme di seluruh Indonesia seperti Destri dan Daniel di Palu, Sulawesi Tengah.

Hal itu karena PP tersebut memuat aturan pelaksanaan layanan bagi para korban terorisme baik bagi korban terorisme sebelum dan sesudah diundangkannya UU Nomor 5/2018.

“Secara khusus kami akan melaksanakan itu dan mengacu dengan undang-undang itu untuk memberikan kompensasi berupa uang kepada korban,” kata Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, yang dikonfirmasi melalui telepon seluler pada Senin 24 Agustus 2020.

Hasto mengatakan saat ini sudah ada beberapa korban yang telah mengajukan kompensasi tersebut, termasuk dari wilayah Sulawesi Tengah. LPSK yang berkewajiban mengurusi masalah ini diberikan waktu hingga Juni 2021 untuk mendata korban termasuk saksi dari kasus aksi terorisme.

”Ia, di wilayah Sulawesi Tengah sudah ada beberapa pemohon yang sudah mengajukan,”jelasnya.

Khusus di wilayah Sulawesi Tengah, LPSK bekerja sama dengan SKP HAM untuk mendata seluruh korban-korban teror yang ada di wilayah itu. Setelah proses tersebut, LPSK akan melakukan asesmen kepada korban untuk melihat tingkat yang diderita korban seperti meninggal dunia, luka parah, dan luka ringan. “Sudah diajukan ke Kementerian Keuangan, sisa menunggu jumlahnya berapa,” tambahnya.

Data LPSK per Agustus 2020, sudah ada 564 korban terorisme yang melibatkan setidaknya 65 Peristiwa serangan terorisme di Indonesia yang mengajukan permohonan perlindungan. Dari 564 pemohon itu terdiri dari 407 korban langsung, 140 korban tidak langsung, 15 orang saksi, dan 2 lain-lain.

Diuraikan, korban terorisme sebanyak 489 korban/saksi terdiri dari 177 orang perempuan dan 312 orang laki-laki. Tercatat 8, 87 persen korban berusia anak.

Sulawesi Tengah menjadi salah satu tempat yang paling banyak terjadi aksi terorisme. Namun jika merujuk dari jumlah permohonan perlindungan yang diajukan, maka angka terbesar berasal dari Sumatera Utara, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Bali, dan Jawa Barat.

Dikatakan, ada beberapa pola serangan terorisme dan yang paling banyak terjadi dilakukan dengan senjata tajam, ledakan bom, dan senjata api.

Sementara untuk kompensasi LPSK baru berhasil melakukan pembayaran kompensasi bagi 61 orang korban di 12 peristiwa serangan terorisme. Dengan total Rp 4,2 miliar.

Masih terdapat 7 peristiwa terorisme dengan 182 korban dimana kompensasinya telah diputus oleh pengadilan namun masih menunggu pelaksanaan pembayarannya.

Destri, penyintas penembakan Gereja GKST Effatha dan Daniel, penyintas pengeboman di pasar juga menunggu kompensasi dari pemerintah sebagaimana PP Nomor 35/2020.

Pencegahan
Bom di pasar dan penembakan di rumah ibadah adalah dua dari rentetan peristiwa teror di Sulawesi Tengah.Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus memberikan atensi terhadap provinsi ini.

Upaya-upaya penanggulangan terus dilakukan.Ada tiga program strategis BNPT yakni kontradikalisasi, deradikalisasi, dan pemenuhan sarana kontak.Kontraderadikalisasi ditujukan kepada kelompok atau simpatisan dan masyarakat yang belum terpapar paham radikal, yaitu dengan melaksanakan kegiatan pencegahan.

Sedangkan deradikalisasi merupakan upaya menanggulangi paham radikal atau menurunkan kadarnya menjadi tidak radikal.Pada kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan.

Selanjutnya, pemenuhan sarana kontak yang merupakan strategi intelijen penggalangan dengan fokus pada aspek pemenuhan sarana kontak, yang ditujukan untuk membantu membangun, memperbaiki, mengadakan, mengoptimalkan, mendukung sarana dan fasilitas umum secara terbatas.

Senin, 10 Agustus 2020, BNPT menggelar silaturahmi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Sulawesi Tengah. Silaturahmi sekaligus rapat koordinasi itu dihadiri langsung oleh Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar.

Tujuan utama BNPT ke Sulawesi Tengah tidak lain adalah mencegah tumbuh dan berkembangnya gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme di wilayah Sulawesi Tengah. Menurut dia, pembangunan kesejahteraan menjadi program yang dilakukann BNPT dalam penanggulangan dan pencegahan intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Tim Satgas Sinergitas Nasional dan Daerah dari 38 lembaga, kementerian, badan, forum dan masyarakat dilibatkan dalam program ini. Sinergitas ini diharapkan dapat lebih memaksimalkan langkah pemberdayaan masyarakat.

“Lewat sinergisitas tersebut langkah pemberdayaan masyarakat akan lebih maksimal dilakukan dengan menggenjot beberapa sektor, termasuk sektor perkebunan, industri kecil dan menengah, serta sektor-sektor lainnya,” kata Amar.

Tujuan utama sinergitas ini adalah memutus mata rantai indikasi gerakan intoleransi. “Jadi ada literasi, FGD, edukasi, yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam program pencegahan dan penanggulangan terorisme berbasis pembangunan kesejahteraan untuk program non-fisik,” jelasnya.

BNPT juga mengantisipasi penyebaran paham radikal melalui media sosial.Maka, pada Kamis 10 September 2020, BNPT kembali menggelar pertemuan dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Sulawesi Tengah. Hadir pada kegiatan itu aparatur kelurahan dan desa dan tema yang dibahas tentang literasi informasi.

Pada kesempatan itu, Kasubdit Pengawasan BNPT, Moch Chairil Anwar, menyatakan, aksi-aksi terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi keutuhan NKRI. Survei nasional tentang daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme dan terorisme oleh BNPT pada 2017-2018 dengan skor 42,58 dari rentang 0-100 atau kategori sedang.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada kurun 2017 hingga 2019, sudah ada 13.032 konten di media sosial yang diblokir karena berbau radikalisme dan terorisme. Sementara survey nasional tentang daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme dan terorisme yang dilaksanakan BNPT pada 2019, pengguna media sosial dalam mencari informasi mengenai agama termasuk tinggi dengan skor 39,89, dalam internalisasi kearifan lokal termasuk pemahaman agama.

“Pengguna media sosial yang tinggi merupakan tantangan karena menjadi media efektif penyebaran konten radikal.Di satu sisi menjadi peluang emas untuk intensifikasi penyebaran konten kontra-radikal,” kata Anwar.

Sementara itu Ketua FKPT Sulawesi Tengah, Muhd Nur Sangadji, mengatakan, belakangan ini, informasi yang bernuansa provokatif, kebencian, memancing emosi dan amarah serta mempropagandakan antara negara dan agama sangat banyak tersebar lewat perangkat-perangkat media sosial.

Penyebaran informasi tersebut dilakukan oleh oknum dan kelompok-kelompok tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu yang tidak lepas dari paham yang mereka anut.Ia berharap dengan adanya literasi informasi dapat menjadi satu penguatan untuk peningkatan kapasitas, dalam mencegahan penyebaran paham dan gerakan intoleransi, radikalisme dan terorisme lewat media sosial.

“Tujuan kegiatan ini yakni memberikan pemahaman kepada berbagai elemen masyarakat, khususnya aparatur kelurahan/desa, awak media massa pers, mahasiswa dan ASN, mengenai dampak negatif internet sebagai salah satu sarana penyebar luasan faham radikalisme dan terorisme,” jelasnya.

Mencegah gerakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme serta program deradikalisasi bukan hanya menjadi harapan pemerintah dalam menangani kasus terorisme di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah. Itu juga menjadi harapan penyintas seperti Destri dan Daniel serta ratusan orang lainnya yang menjadi korban aksi teror. Agar tidak ada lagi yang mengalami luka fisik, psikis, hingga cacat permanen bahkan sampai meregang nyawa.