30.5 C
Palu
27 Maret 2024
Catatan

Tiga Tahun Pascabencana: Penyediaan Huntap Jalan Merayap

28 September 2018, tiga tahun yang lalu: gempa bumi 7,4 M yang disusul dengan tsunami dan liquefaksi menerjang Sulawesi Tengah. Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan sebagian Kabupaten Parigi-Moutong, porak poranda. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencatat, lebih dari empat ribu orang meninggal dunia, lebih dari 100 ribu rumah mengalami kerusakan, dan lebih dari 172 ribu warga harus mengungsi. Total kerusakan dan kerugian akibat bencana itu terhitung lebih dari Rp 23,26 triliun.

Kini, tiga tahun pascabencana, di tengah proses proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulawesi Tengah yang gencar dilakukan, masih ada begitu banyak warga terdampak bencana (WTB) yang tinggal di hunian-hunian sementara (huntara). Tidak sedikit pula WTB yang telah kehilangan tempat tinggalnya karena huntara mereka sudah dibongkar. Hunian tetap (huntap) yang menjadi hak mereka masih belum kunjung tersedia.

Huntap bagi WTB memang baru sebagian kecil saja yang terpenuhi. Dari 11.788 unit huntap rekolasi yang dibutuhkan, sejauh pencatatan kami, baru sekitar 3.272 unit saja yang telah tersedia. Padahal, merujuk Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, bantuan dan penyediaan huntap bagi WTB dimandatkan sudah harus diselesaikan dalam waktu kurang dari 2,5 tahun.

Dari Januari 2020, SKP-HAM Sulawesi Tengah melakukan monitoring terhadap proyek penyediaan huntap relokasi yang dilaksanakan Kementrian PUPR yang dibiayai Bank Dunia lewat proyek NSUP-CERC dan CSRRP. Sejauh ini, sudah ada sejumlah catatan dan laporan yang diterbitkan. [1] Catatan ini adalah bagian dari laporan lanjutan hasil monitoring SKP-HAM Sulteng, yang dimaksudkan pula sebagai bahan refleksi tiga tahun pascabencana.

Penyediaan Huntap NSUP-CERC dan CSRRP: Jalan Merayap

Dalam catatan awal Kementrian PUPR, total huntap (untuk relokasi) yang dibutuhkan oleh WTB di Sulawesi Tengah adalah 11.788 unit. Kementrian PUPR berencana akan membangun sebanyak 8.788 unit; sedangkan 3.000 unit sisanya akan dibangun oleh pihak lain.

Untuk penyediaan huntap relokasi itu, Pemerintah Indonesia mengajukan pinjaman kepada Bank Dunia. Kementrian PUPR melalui Direktorat Jendral Perumahan akan menjadi pihak pelaksananya.[2] Dalam rencana, penyediaan huntap itu akan dilaksanakan dalam dua tahapan.

Tahap 1, sebagai tahap transisi atau pendahuluan, dilakukan lewat National Slum Upgrading Project—Contingency Emergency Response Component (NSUP—CERC) dengan anggaran sebesar US$ 100 juta. Pada Tahap 1 ini, rencana akan dibangun sekitar 1.600 unit hunian tetap.

Tahap 2, pengerjaannya dilakukan lewat Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP). CSRRP bertujuan untuk melakukan rekonstruksi dan memperkuat fasilitas publik dan perumahan yang lebih aman di daerah yang terdampak bencana. Dana pinjaman dari Bank Dunia untuk CSRRP adalah sebesar US$ 150 juta. Pada Tahap 2, rencananya akan dibangun 7.188 unit hunian tetap.

Kementrian PUPR memulai pengerjaan NSUP-CERC setelah disepakatinya addendum dengan Bank Dunia untuk realokasi pinjaman, pada Oktober 2019. Pembangunan huntapnya sendiri, Tahap 1A, mulai dilakukan pada Januari 2020. Huntap yang akan dibangun sebanyak 630 unit, di dua lokasi: 230 unit di Duyu, Kota Palu dan 400 unit di Pombewe, Kabupaten Sigi.

Setelah dua tahun proyek itu berjalan, Kementrian PUPR praktis baru bisa menyelesaikan 630 unit huntap Tahap 1A-CERC di dua lokasi itu saja! Kelengkapan falisitas umum dan fasilitas sosial di kedua lokasi pembangunan huntap itu pun sampai saat ini masih belum sepenuhnya bisa dikatakan selesai.

Secara kontraktual, pembangunan huntap di Tahap 1A semestinya selesai dalam enam bulan, terhitung dari Januari 2020 s.d. awal Juli 2020. Kenyataannya, penyelesaian pembangunan huntap Tahap 1A molor, baru selesai pada Maret 2021: mengalami keterlambatan lebih dari 8 bulan! Jika dihitung secara keseluruhan, Kementrian PUPR membutuhkan waktu lebih dari 14 bulan untuk menyelesaikan pembangunan 630 unit huntap di kedua lokasi itu!

proyek penyediaan huntap pascabencana sulteng
Papan informasi proyek pembangunan huntap Kementrian PUPR Tahap 1A-CERC. Pembangunan huntap Tahap 1A mengalami keterlambatan luar biasa. Pelaksanaannya molor sampai 15 bulan! Sejauh ini, tidak ada pihak yang (berani) meminta pertanggungjawaban dari Kementrian PUPR atas keterlambatan tersebut. (Foto: Fauzy Ahmad/Tim Monitoring)

Potensi keterlambatan pun mengintai pembangunan huntap di Tahap 1B-CERC yang kini masih terus berlangsung. Secara kontraktual, Tahap 1B akan membangun 1.005 unit huntap (yang baru terealisasi 976 unit; 45 unit di antaranya adalah huntap mandiri) di 10 lokasi huntap satelit.

Pembangunan Tahap 1B sudah dimulai dari 9 Oktober 2020, dengan waktu pelaksanaan 264 hari kalender (sekitar 8,8 bulan). Kementrian PUPR sempat menjanjikan, akan ada 700 unit huntap di Tahap 1B yang selesai pada akhir Juni 2021, dan keseluruhan pekerjaan huntap Tahap 1B akan bisa rampung pada pertengahan Desember 2021.[3]

Kenyataannya, sampai pertengahan September 2021 (setelah lebih dari 11 bulan pengerjaan), belum ada satu unit huntap pun di Tahap 1B yang siap huni! PT Waskita, selaku kontraktor, menyebut bahwa progres pembangunan huntap Tahap 1B di lokasi huntap satelit Ganti dan Tanjung Padang, Kabupaten Donggala, misalnya, baru mencapai 60%.[4]

Mengamati proses yang berlangsung saat ini, pembangunan huntap memang berjalan sangat lamban: jalan merayap. Penyelesaian huntap secara keseluruhan di Tahap 1B yang ditargetkan Desember 2021 berpotensi mengalami keterlambatan juga. Hal ini tentu saja sangat tidak diharapkan. Keterlambatan penyediaan huntap akan memberi dampak buruk lanjutan, terutama terhadap para WTB yang kini sudah tidak memiliki tempat tinggal dan masih berdiam di hunian-hunian sementara (huntara)

Pandemik Covid-19 boleh jadi menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada terjadinya keterlambatan. Namun, dari awal pandemik muncul, Kementrian PUPR merasa yakin bahwa mereka akan bisa menyelesaikan huntap sesuai dengan rencana.[5] Di luar hal itu, dalam proses pelaksanaan pembangunan huntap yang dibiayai CERC (Tahap 1A dan 1B), sudah tidak ada persoalan yang terkait dengan lahan sebagaimana yang menjadi persoalan dasar untuk pembangunan huntap Tahap 2 (CSRRP). Sebelum pembangunan huntap Tahap 1A dan 1B dilakukan, lahan sudah dipastikan clean and clear!

Dalam pandangan kami, keterlambatan pembangunan huntap yang dibiayai CERC, baik di Tahap 1A maupun di Tahap 1B, semata-mata lebih dikarenakan ketidakcakapan Kementrian PUPR dalam mengelola proyek. Keterlambatan pembangunan huntap di Tahap 1A sepertinya tidak menggugah Kementrian PUPR untuk segera melakukan kaji ulang dan evaluasi. Alih-alih menjadikan keterlambatan di Tahap 1A sebagai bahan pembelajaran, Kementrian PUPR justru mengulangi hal yang sama dalam pelaksanaan pembangunan huntap di Tahap 1B.

Sayangnya tidak ada pihak yang secara tegas menegur, mendesak, dan mengevaluasi kinerja Kementrian PUPR untuk bisa secepatnya menyelesaikan pembangunan huntap. Begitupun, tidak ada pihak-pihak yang meminta pertanggungjawaban dari Kementrian PUPR sebagai pelaksana proyek atas keterlambatan pembangunan huntap tersebut.

Bank Dunia pun seolah mengabaikan keterlambatan ini: proyek penyediaan huntap yang dibiayai dari pinjamannya itu seolah berjalan baik-baik saja!  Bank Dunia sepertinya lupa, CERC tidaklah ditujukan sebagai proyek panjang. Sebagaimana yang tercantum dalam Addendum untuk CERC per 13 Oktober 2019, tujuan dari CERC adalah untuk mendukung kegiatan prioritas langsung (kurang dari 26 bulan).[6] Mengacu pada janji dan pernyataan Kementrian PUPR bahwa pengerjaan keseluruhan di Tahap 1B-CERC akan selesai pada Desember 2021, maka CERC sesungguhnya “telah gagal” mencapai tujuannya.

Progres yang lamban tidak hanya terjadi di Tahap 1-CERC. Pembangunan huntap Tahap 2-CSRRP pun kurang lebih menunjukkan gelagat yang sama. Tahap 2-CSRRP, yang rencananya akan membangun sekitar 3.000 unit huntap (dari rencana semula akan membangun lebih dari 7.000 unit), sampai saat ini, prosesnya praktis baru sebatas pembersihan dan pengembangan lahan di lokasi Tondo II dan Talise. Di tahap awal, proses pembersihan dan pengembangan lahan di kedua lokasi itu pun menuai sejumlah permasalahan, dan bahkan telah melanggar kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan.[7] Dokumen LARAP untuk kedua lokasi itu sampai saat ini masih belum selesai. Dokumen pendukung yang sudah tersedia hanya draft upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).

Kabar terakhir, pengerjaan huntap kawasan di lokasi Tondo II dan Talise baru akan mulai dilaksanakan di Oktober 2021 mendatang. Untuk pembangunan huntap satelit yang, sedikitnya, tersebar di sembilan lokasi, sampai saat ini masih belum ada kepastian kapan akan dimulai pelaksanaannya. Selain itu, hal penting yang paling mendasar, data WTB yang berhak atas huntap, sampai saat ini masih juga belum terkonfirmasi sepenuhnya: masih berantakan!

Siteplan Huntap Talise. Dari awal proses penyiapan, lahan huntap ini adalah salah satu yang tidak berstatus clean and clear. Sejumlah warga memiliki klaim atas hak kepemilikan lahan itu. Kementrian PUPR kemudian menggunakan cara paksa yang refresif, yang sesungguhnya tidak disarankan karena melanggar aturan, ketika melakukan pembersihan lahan di lokasi tersebut. Kementrian PUPR sendiri mencatat, ada 101 warga yang meminta kompensasi ganti rugi tanam tumbuh (GRTT). Jika merujuk pada aturan yang tercantum dalam ESMF, yang disusun oleh Kementrian PUPR sendiri, warga memang berhak untuk mendapatkan kompensasi tersebut. Sejauh ini kami belum mendengar, apakah kompensasi GRTT tersebut sudah ditunaikan atau belum. (Sumber Gambar: Diambil dari presentasi Kementrian PUPR, “Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Alam Sulawesi Tengah”, 30 Desember 2020)

Penambahan lokasi huntap baru bagi WTB Petobo yang dipersiapkan oleh Pemkot Palu dan Pemprov Sulteng, sampai saat ini pun masih dalam tahap proses penyiapan lahan. Lokasi huntap ini sepertinya akan menjadi bagian dari CSRRP, meskipun masih sulit untuk dipastikan, kapan pembangunan huntap itu akan dilaksanakan. Hal yang harus diingat, sebelum melakukan pembangunan huntap di lokasi tersebut, Kementrian PUPR masih harus melakukan kajian kelayakan lahan, membuat dokumen LARAP dan UKL-UPL, mendapatkan persetujuan (no objection letter, NOL) dari Bank Dunia, merancang siteplan, melakukan pembersihan dan pengembangan lahan, serta membuka lelang untuk kontraktor yang akan membangun huntap. Untuk hal ini, prosesnya akan memakan waktu yang relatif cukup lama. WTB Petobo yang memilih huntap di lokasi ini harus siap bersabar untuk menunggu lebih lama juga.

Merujuk pada proses pembangunan 630 unit huntap di Tahap 1A yang membutuhkan waktu lebih dari 14 bulan dan pembangunan 976 unit huntap di Tahap 1B yang setidaknya akan membutuhkan waktu 14 bulan penyelesaian, pertanyaannya kemudian, akan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun sekitar 3.000 unit huntap (dari rencana semula, lebih dari 7.000 unit) di Tahap 2? Pertanyaan ini perlu segera dijawab agar WTB bisa segera pula memiliki kepastian kapan mereka akan bisa mendapatkan dan menempati huntap yang menjadi hak mereka.

Dampak Buruk Akibat Keterlambatan Penyediaan Huntap

Lambatnya Kementrian PUPR dalam proses penyediaan huntap sesungguhnya telah menimbulkan dampak buruk. Pihak yang paling merasakan dan mengalami dampak buruk adalah para WTB, terutama para WTB yang kini masih tinggal di huntara dan yang sudah tidak memiliki tempat tinggal karena huntaranya sudah dibongkar. Bagi para WTB yang masih tinggal di huntara, sebagian besar huntara yang mereka tempati itu kondisinya bisa disebut sudah tidak layak huni. Mereka pun dihantui rasa cemas, huntara mereka sewaktu-waktu akan segera dibongkar karena lahan yang digunakan sudah habis masa pakainya.

Para pemilik lahan huntara memang masih ada yang mau meminjamkan lahannya untuk tetap digunakan huntara sampai dengan para WTB mendapatkan huntap mereka. Ini terjadi di Tompe, misalnya. Namun, di tempat lain, huntara-huntara yang masih ditempati WTB ternyata harus dibongkar secara paksa. Kasus seperti ini baru saja terjadi di Dongkala Kodi. Kasus lain, ada pemilik lahan huntara yang ingin meminta kembali lahannya, namun ditolak oleh WTB yang masih tinggal di huntara tersebut.

Penolakan para WTB untuk menyerahkan lahan yang digunakan huntara kepada pemiliknya tentu harus disikapi dengan bijak dan mesti dimitigasi dengan saksama. Hal yang paling tidak diinginkan adalah penolakan para WTB itu kemudian diekspresikan dengan kemarahan atau, bahkan, dengan kekerasan.

Kemarahan WTB rasanya bisa dimengerti. Pertama, jika huntara dibongkar, mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal. Mereka akan menjadi “tunawisma”. Kedua, mereka telah menunggu begitu lama untuk mendapatkan huntap yang menjadi hak mereka, tetapi yang mereka dapat selama ini hanyalah janji! Ketiga, para WTB kini bukan saja menjadi korban bencana. Oleh karena hak-hak mereka pun telah diabaikan dan dilanggar, mereka sudah bisa dikategorikan sebagai korban berlapis: sudah korban, menjadi korban lagi.

Dengan kata lain, kami ingin sekaligus mengingatkan, keterlambatan penyediaan huntap bukan saja berpotensi untuk memicu munculnya kemarahan, kekerasan, dan ketidakstabilan secara sosial. Potensi terhadap adanya pelanggaran hak asasi manusia pun menjadi nyata adanya. Sejumlah hak WTB yang berpotensi (atau bahkan sudah) dilanggar di antaranya adalah hak atas perumahan, hak atas penghidupan yang layak, hak atas lingkungan yang aman dan nyaman, dan hak atas kesehatan. Situasi macam demikian tentu saja bukanlah hal yang diharapkan.

Unjuk rasa penyintas bencana Loli Raya, Donggala, pada 27 September 2021, yang berbuah ditangkapnya lima warga pengunjuk rasa. Di hari yang sama, warga penyintas bencana Kota Palu pun berunjuk rasa di saat Kota Palu sedang menggelar perayaan HUT Kota Palu ke-43. Lambatnya penyediaan huntap menjadi salah satu pemicu dari unjuk rasa yang dilakukan. Warga tentu tidak keliru ketika mereka menuntut haknya kepada pemerintah daerah. Namun, Kementrian PUPR, sebagai pelaksana penyediaan huntap, adalah pihak yang paling bertangung jawab. Mereka tidak bisa terus bersembunyi di balik ketiak Bank Dunia. Hey, duitnya sudah ada! Mampu bekerja atau tidak? (Foto: Diambil dari mediasulawesi.id)

Untuk para WTB yang berhak atas huntap, terlebih bagi mereka yang kini sudah tidak bisa lagi tinggal di huntara, tentu saja harus segera dicari solusinya. Mereka tidak bisa dibiarkan tidak memiliki tempat tinggal, apalagi sampai telantar dan terlunta-lunta. Pemerintah daerah (baik provinsi maupun kota/kabupaten) dan Kementrian PUPR adalah pihak yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi masalah para WTB yang berhak atas huntap tersebut.

Sebagai representasi negara yang menjadi pemangku kewajiban untuk memenuhi hak-hak warganya, pemerintah daerah bisa dipandang telah gagal untuk melaksanakan mandat Pergub Sulteng No.10/2019 yang mengamanatkan harus menyediakan huntap bagi para WTB dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Sedangkan untuk Kementrian PUPR, oleh karena seluruh WTB yang berhak atas huntap adalah penerima manfaat dari NSUP-CERC dan CSRRP, Kementrian PUPR pun harus turut bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari kelambanan dan keterlambatan mereka dalam penyediaan huntap. Dalam hal ini, pemerintah daerah dan Kementrian PUPR harus memikul tanggung jawab bersama secara tanggung renteng untuk memenuhi hak-hak WTB, sekurang-kurangnya agar para WTB yang belum mendapatkan huntap bisa hidup lebih layak dan tidak terlantar.

Pemerintah daerah, sekecil apapun itu, harus mengupayakan pemenuhan jaminan kelayakan hidup bagi WTB yang belum mendapatkan huntap, apalagi yang kini sudah tidak memiliki tempat tinggal. Khusus untuk Kementrian PUPR, ada celah yang bisa diupayakan untuk turut memikul tanggung jawab atas keterlambatannya menyediakan huntap tersebut. Pada butir 7 dokumen Rencana Komitmen Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Commitment Plan, ESCP)[8] disebutkan, “Dalam hal terjadinya perubahan proyek, keadaan tidak terduga, atau hasil penilaian kinerja yang mengakibatkan perubahan lebih lanjut pada risiko dan dampak pelaksanaan; Pemerintah Indonesia akan menyediakan dana tambahan jika diperlukan, untuk mengatasi risiko dan dampak dimaksud.”

Pertanyaan pentingnya adalah, apakah Kementrian PUPR mau menempuh upaya itu atau tidak?

Bank Dunia Gagal Menegakkan Kebijakan dan Aturannya Sendiri

Pada 1 Oktober 2018, Bank Dunia mulai efektif memberlakukan Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Framework, ESF) untuk menggantikan Safeguard Policies. Bank Dunia kemudian mewajibkan setiap negara peminjam untuk mematuhi ESF dalam setiap proyek yang mereka biayai.

Bank Dunia mengampanyekan ESF sebagai visi untuk pembangunan berkelanjutan. Tujuan ESF adalah untuk memastikan bahwa masyarakat dan lingkungan akan terlindungi dari berbagai potensi dampak buruk yang diakibatkan oleh proyek-proyek yang dibiayainya. Kebijakan ini akan memungkinkan Bank Dunia dan negara peminjam bisa mengelola risiko lingkungan dan sosial suatu proyek secara lebih baik. Bank Dunia pun meyakini, pelaksanaan ESF akan sekaligus menguatkan, di antaranya, prinsip transparansi, non-diskriminasi, partisipasi publik, akuntabilitas, dan termasuk perluasan untuk mekanisme pengaduan.

ESF tercantum dalam perjanjian sebagai salah satu hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh negara peminjam. Ketentuan ESF kemudian dituangkan oleh negara peminjam di dalam dokumen ESCP), yang harus disusun selaras dengan sepuluh Standar Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Standards, ESS) yang telah ditetapkan Bank Dunia.

Di dalam temuan kunci laporan hasil monitoring sebelumnya, kami telah mengemukakan bahwa pemenuhan dan pelaksanaan ESF Bank Dunia, sepertinya, hanya berlaku di tingkat normatif. Dalam konteks perjanjian pinjaman CSRRP antara Bank Dunia dengan Pemerintah Indonesia, misalnya, tidak ada klausul terkait dengan sanksi atau penalti jika Pemerintah Indonesia, sebagai negara peminjam, tidak mematuhi dan tidak melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum di dalam ESF.

Dengan demikian, seideal apapun negara peminjam menyusun dokumen ESCP yang selaras dengan ESF, rencana komitmen itu pada akhirnya berpeluang untuk tidak diimplematisikan. Konsekuensi lanjutannya, ESF pun akan menjadi kehilangan semangat dan tujuannya karena tidak bisa menjamin dan memastikan, proyek akan terhindar dari adanya penyimpangan, dampak buruk, dan, bahkan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Dari hasil pantauan kami selama proyek NSUP-CERC dan CSRRP berlangsung, adanya pengabaian terhadap berbagai kebijakan dan aturan semakin kentara. Kementrian PUPR dalam melaksanakan proyek ini jauh dari kata patuh untuk melaksanakan amanat ESF dan ESS. Rencana komitmen sebagaimana yang dituangkan Kementrian PUPR dalam ESCP sebagian tidak dilaksanakan. Berbagai dokumen pendukung lainnya yang disyaratkan karena akan menjadi panduan untuk melaksanakan proyek, kerap terlambat atau tidak kunjung segera disusun. Dokumen Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP), mekanisme pengaduan (Feedback and Grievance Redress Mechanism, FGRM), serta panduan untuk mengimplementasikan Strategi dan Rencana Aksi untuk kekerasan berbasis gender (GBV), eksploitasi dan pelecehan seksual (SEA), dan kekerasan terhadap anak (VAC), misalnya.

Sejauh ini, kami tidak menerima respon tegas dan bernas dari Bank Dunia ketika kami mencoba untuk mendesakkan secara langsung terkait dengan kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap kebijakan dan aturan tersebut. Respon yang diberikan Bank Dunia tidak jauh berbeda seperti halnya pernyataan Kementrian PUPR terkait dengan penyelesaian huntap:  hanya “janji surga!”

Bank Dunia pun terkesan berkelit ketika diminta untuk memastikan berbagai komitmen penting yang wajib dilaksanakan agar bisa segera terimplementasi. Implementasi untuk strategi dan rencana aksi GBV/SEA dan VAC, misalnya. Setelah dua tahun proyek berjalan, praktis belum ada langkah konkret untuk mengimplementasikan strategi dan rencana aksi GBV/SEA dan VAC. Padahal, Bank Dunia (seolah) memberi perhatian penuh dan khusus terkait dengan gender, GBV/SEA dan VAC. Dari sepuluh ESS yang dimiliki Bank Dunia, Bank Dunia memberi catatan panduan terkait konteks gender di enam ESS, yaitu di ESS 1, ESS 2, ESS 4, ESS 5, ESS 7, dan ESS 10. Secara khusus, Bank Dunia pun telah menyusun strategi gender untuk peridode 2016—2023.

Bank Dunia memberi respon yang kurang-lebih sama dalam menyikapi kasus pembersihan lahan huntap di lokasi Talise-Valangguni, Kota Palu, yang prosesnya jelas-jelas melanggar kebijakan dan aturan. Kementrian PUPR tidak saja telah melanggar kebijakan dan aturan Bank Dunia, sebagaimana yang tercantum dalam ESF, ESS, ESCP, ESMF NSUP, ESMF CSRRP. Lebih dari itu, Kementrian PUPR pun telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang juga menjadi rujukan kebijakan untuk pelaksanaan NSUP-CERC dan CSRRP.

Pada kasus ini pun Bank Dunia tidak mengambil langkah dan tindakan apapun; atau, sekurang-kurangnya, memberi rekomendasi kepada Kementrian PUPR untuk penyelesaiannya. Bank Dunia kembali berkelit, cenderung mengabaikan dan membiarkan, meskipun pelanggaran terang-benderang telah terjadi.[9]

Begitupun halnya dengan progres Kementrian PUPR yang begitu lambat dalam menyediakan huntap. Bank Dunia, dalam sebuah laporan yang dirilisnya, justru memberi penilaian “cukup memuaskan” untuk progres implementasi proyek secara keseluruhan, meskipun mereka mengakui progres untuk proyek penyediaan huntap ini lebih lambat dari yang diharapkan. Bagi kami, penilaian yang diberikan oleh Bank Dunia tersebut bukan saja menunjukkan bahwa Bank Dunia memiliki ekspetasi yang rendah untuk proyek ini.[10] Lebih dari itu, Bank Dunia telah mengabaikan munculnya dampak buruk terhadap para WTB yang diakibatkan oleh proyek yang mereka biayai.

Kami sempat mendesakkan secara langsung menyangkut tanggung jawab pelaksana proyek terhadap para WTB yang kini masih belum mendapatkan huntap, yang hidup kurang layak di huntara, dan sangat mungkin sudah terlantar karena penyediaan huntap lambat tersedia, kepada Andre A. Bald, Tim Leader NSUP-CERC dan CSRRP, dari Bank Dunia. Sayangnya, pihak Bank Dunia tidak merasa harus turut andil untuk memikul tanggung jawab dan kewajiban tersebut. Bank Dunia pun tidak memberi semacam pertimbangan atau rekomendasi untuk penyelesaian masalah itu.

Andre A. Bald (berbaju biru, paling kanan), Team Leader NSUP-CERC dan CSRRP yang mewakili Bank Dunia, saat datang ke Sulawesi Tengah, akhir Januari 2020 silam. Tuan Bald sempat datang ke Sekretariat SKP-HAM Sulteng dan berdiskusi dengan Tim Monitoring. Pertemuan dan diskusi kemudian beberapa kali dilakukan secara daring. Tuan Bald terakhir kali menjanjikan untuk kembali melakukan pertemuan dan diskusi dengan Tim Monitoring pada akhir Agustus 2021. Sampai saat ini, pertemuan dan diskusi itu tidak pernah terjadi, tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut kepada kami. (Foto: Humas Protokol Setda Pemprov Sulteng).

Sikap yang ditunjukkan Bank Dunia itu boleh dipandang kontradiktif dengan semangat dan tujuan dari ESF yang dikampanyekan sebagai visi untuk pembangunan berkelanjutan dan untuk memastikan agar masyarakat dan lingkungan bisa terlindungi dari potensi dampak buruk yang diakibatkan oleh proyek-proyek yang mereka biayai. Kini, ketika dampak buruk yang diakibatkan oleh NSUP-CERC dan CSRRP sudah membayang di depan mata, Bank Dunia malah berpaling dan cuci tangan.

Dari perspektif kami, penyikapan Bank Dunia terhadap berbagai masalah yang muncul di proyek NSUP-CERC dan CSRRP telah cukup menunjukkan bahwa Bank Dunia tidaklah memandang serius dan sungguh-sungguh untuk memastikan proyek ini bisa terlaksana dengan baik, yang tunduk dan patuh pada berbagai kebijakan dan aturan. Dengan begitu, Bank Dunia pun sesungguhnya telah gagal untuk menjalankan dan menegakkan kebijakan dan aturan yang dibuatnya sendiri!

Safeguard policies, ESF, atau apapun itu namanya, seperti hanya dimaksudnya untuk ada, namun tidak menjadi penting implementasinya. Begitupun dengan ungkapan, membangun kembali lebih baik (build back better), lebih aman (build back safer), dan berkelanjutan (sustainable), sebagaimana yang menjadi tujuan dari proyek NSUP-CERC dan CSRRP, hanya perlu ada di atas kertas dan cukup dikumandangkan sebagai jargon kosong yang nyaring bunyinya.

Business as usual, rasanya, itu frasa yang tepat untuk menggambarkan proyek ini. Bagi Bank Dunia (dan Kementrian PUPR), boleh jadi, memang itulah yang terpenting.

* * *


[1] Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah, Kementrian PUPR tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan huntap yang didanai Bank Dunia lewat NSUP-CERC dan CSRRP (US$ 150 juta) dan perbaikan jalan lewat WINRIP (US$25 juta). Kementrian PUPR pun menjadi pelaksana proyek Rekonstruksi Infrastruktur Sulteng (RIS) yang dananya dari JICA (JPN¥ 27,97 miliar) dan proyek Emergency Assistance for Rehabilitation and Reconstruction (EARR) yang dibiayai Asian Development Bank (ADB) sebesar US$ 279,75 juta. Semua dana yang digunakan itu adalah utang. Dana utang secara keseluruhan yang dikelola Kementrian PUPR untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah sekitar US$ 805 juta atau sekitar Rp 11,27 triliun.

[2] Seluruh catatan dan laporan monitoring bisa diakses di situs kami: https://monitoring.skp-ham.org/category/laporan-pemantauan/. Laporan monitoring periode Januari s.d. September 2020 bisa dibaca dan diunduh di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=3300 (tautan unduh versi Inggris); dan https://monitoring.skp-ham.org/?p=3218 (tautan unduh versi Indonesia).

[3] Sebagaimana yang disampaikan oleh Rezki Agung, Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Sulteng, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pembangunan huntap di Sulteng. Beritanya dibaca di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=3786.

[4] Jika dalam 11 bulan mereka baru bisa menyelesaikan 60%, dengan kalkulasi sederhana, dibutuhkan waktu kurang lebih 7 bulan lagi untuk menyelesaikan keseluruhannya. Dengan melihat progres yang berlangsung saat ini, dugaan kami, pengerjaan huntap Tahap 1B (CERC) baru akan selesai seluruhnya pada April 2022.

[5] Pernyataan-pernyataan Kementrian PUPR terkait hal tersebut bisa disimak di tautan berita berikut ini: https://monitoring.skp-ham.org/?p=2314 dan https://monitoring.skp-ham.org/?p=2309

[6] Lih. CERC-EROM, Annex 4, par. 4, hal. 45.

[7] Perihal pelanggaran terhadap mekanisme, prosedur, dan aturan yang dilakukan Kementrian PUPR dalam kasus pembersihan lahan di Talise-Valangguni, bisa dibaca dalam laporan monitoring periode Januari s.d. September 2020, di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=4126.

[8] ESCP akan menjadi bagian dari perjanjian yang sah. Oleh karenanya, negara peminjam wajib untuk mendukung pelaksanaan ESCP. Bank Dunia akan mengharuskan peminjam untuk setia melaksanakan langkah dan tindakan yang diidentifikasi dalam ESCP, menurut jangka waktu yang ditentukan dalam ESCP, dan untuk meninjau status pelaksanaan ESCP sebagai bagian dari pemantauan dan pelaporan.

[9] Atas usaha Pemerintah Kota Palu, kasus lahan di lokasi Talise-Valangguni pada saat ini memang sudah mendapatkan titik terang solusinya. Meskipun demikian, khusus untuk Kementrian PUPR yang melakukan proses pembersihan lahan di lokasi itu, jika merujuk pada dokumen Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Management Frameworks, ESMF), baik ESMF NSUP maupun ESMF CSRRP, Kementrian PUPR sesugguhnya masih “berhutang” kepada warga Talise-Valangguni yang kebunnya digusur karena warga sesungguhnya berhak untuk mendapatkan kompensasi berupa ganti rugi tanam tumbuh (GRTT). Terkait dengan huntap, Pemkot Palu masih harus memastikan Huntap Buddha Tzu Chi di Tondo I diserahterimakan kepada pihak Pemkot, dan harus dikelola oleh Pemkot. Selain karena huntap itu statusnya adalah bantuan, 2/3 dari aset kawasan itu, lahan dan infrastrukturnya, disediakan oleh pemerintah.

[10] Tanggapan kami atas laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut bisa dibaca di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=4121 (versi Bahasa Inggris) atau https://monitoring.skp-ham.org/?p=4126 (versi Bahasa Indonesia).

* * *

Tulisan terkait

Walikota Palu Tandatangani MoU Penegakan HAM

Nurlaela Lamasitudju

Nurlaela AK Lamasitudju: Truth and Justice for 1965 Victims

Evi Mariani

SKP-HAM Janji Serahkan Arsip ke DKP Palu

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar