32 C
Palu
19 Maret 2024
Buku

Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965

Oleh Yoseph Yapi Taum, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Memecah pembisuan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi '65-'66Akhmad Zakky; Lembaga Kreativitas Kemanusiaan 2011
Editor:  Putu Oka Sukanta; Tebal: 315 h.

Pengantar
KARENA judul buku ini adalah Memecah Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah serupa, yaitu Breaking the Silence.  Breaking the Silence (BtS) adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel.[1] Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan ‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’

Sejak tahun 2004, LSM ini telah menerbitkan serial bunga rampai berjudul Kesaksian Para Tentara. Serial ini memuat ratusan kesaksian ‘dari para penjaga perbatasan, pasukan keamanan, dan mereka yang bertugas di wilayah pendudukan.’ Tujuan penerbitan buku itu adalah ‘memaksa masyarakat Israel melihat realitas yang sesungguhnya’ dan menyadari adanya ‘pelecehan, pengrusakan, dan penghancuran harta benda milik warga Palestina.’ Sebelumnya mereka dibisukan, seolah-olah perbuatan itu wajar dilakukan dan pembicaraan mengenai tindakan tentara Israel di wilayah pendudukan adalah tabu. Tentu saja organisasi ini dimusuhi pemerintah Israel. Tekanan pemerintah Israel semakin kuat ketika LSM ini mengungkap kesaksian tentara Israel yang ikut dalam pemboman Gaza tahun 2009.

Contoh kesaksian (1). ‘Saya tidak tahu apa yang dilakukan Hamas di kota Hebron, tetapi ketika terjadi ketegangan di Hebron, saya tidak pernah menyaksikan satu pun orang Arab yang mengancam keselamatan orang Yahudi. Maksudku, saya tidak pernah melihat adanya kekerasan yang dilakukan dari pihak orang Arab, atau tindakan mereka yang mengganggu orang Yahudi. Saya pikir tidak ada alasan apapun bagi orang Israel untuk takut. Orang Yahudilah yang selalu mengganggu dan membuat marah orang Arab. Mereka membuang sampah kotor ke halaman rumah orang Arab. Jika ada seorang anak Arab berlari mendekati tiga anak Yahudi, para tentara Israel akan memukul atau menghinanya. Ada begitu banyak pelecehan yang dilakukan terhadap orang Arab’ (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011).

Contoh kesaksian (2). Dalam serangan ke Gaza, ada 54 kesaksian tentara Israel yang mengungkap tentang penggunaan gas fosfor yang diarahkan ke pemukiman penduduk, pembunuhan korban-korban yang tidak bersalah, penghancuran ratusan rumah dan masjid tanpa tujuan dan alasan militer. Dalam serangan tersebut, taktik ‘Neighbor Procedure’ juga dipakai: penduduk sipil digunakan sebagai tameng dan dipaksa memasuki gedung-gedung bersama para tentara (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010).

Hal yang ingin saya sampaikan dengan cerita-cerita ini bahwa pelaku pembantaian (perpetrators) sebenarnya juga merupakan korban (victims) dari sebuah sistem yang dibangun. Ketika pelaku kejahatan ‘diharuskan’ menjalankan perintah atasannya untuk melecehkan, merusak, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan kejahatan terhadap korban yang dipandang sebagai liyan, selalu ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam. Bagi saya, ‘hukum’ ini merupakan sebuah kebenaran abadi.[2] Dalam sejarah pembantaian tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, selalu ada orang seperti Schindler yang berjuang dengan berbagai resiko menyelamatkan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi.

Perspektif semacam ini sangat jarang – untuk mengatakan tidak pernah terungkap dalam sejarah Tragedi 1965, kecuali di dalam karya-karya sastra Indonesia yang terbit tahun 1966-1970.[3] Yang ada dalam sejarah Tragedi 1965 adalah ‘penyesalan’ pelaku, seperti Sarwo Edhie Wibowo yang disampaikan Ilham Aidit. Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, yang dieditori oleh Putu Oka Sukanta ini memuat sebuah kisah ‘pertobatan’ itu. Bersama empat belas tulisan lainnnya yang diungkap dari perspektif korban Tragedi 1965, buku testomini semacam ini tentu saja sangat berharga untuk mengungkap tragedi bangsa Indonesia yang begitu dahsyat, yang saat ini cenderung diabaikan begitu saja.

Pertobatan: Pelaku sebagai Korban
Buku ini memberi kesempatan kepada seorang pelaku pembunuhan (eksekutor), seorang pensiunan polisi bernama Benny, untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam feature berjudul ‘Benny: Mencari Penyembuhan’ tulisan Nina Junita (h. 25-44), ada beberapa pokok kesaksian yang layak kita cermati.

Pada awalnya Benny ‘masih sangat yakin bahwa pembunuhan terhadap para anggota PKI adalah sesuatu yang harus dilakukan dan benar adanya.’ Namun, ia kemudian meragukan, apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan?

Menurut Benny, kesalahan yang jelas-jelas dilakukan oleh aparat adalah: pertama, perintah dari Jakarta untuk membunuh semua tahanan di penjara di SoE (pembunuhan tahap pertama: kasus pencurian, perkelahian, pembunuhan). Tahanan ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI; kedua, pembunuhan tahap kedua dan ketiga: sekalipun ada pemeriksaan, tetapi dasarnya tetap tidak jelas, yaitu hanya karena seseorang menjadi anggota PKI dan berafiliasi pada ormas PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Benny bersaksi bahwa masyarakat penerima bantuan BTI (seperti jagung, beras, gula pasir, pakaian, cangkul, benang) terdesak oleh kelaparan di Pulau Timor akibat gagal tanam dan gagal panen. Mereka tidak peduli dengan ideologi di balik pemberian bantuan itu. Bantuan seperti itu pun diberikan oleh Gereja Masehi Indonesia Timur.

Tetapi pada saat itu, semua orang percaya bahwa PKI-lah yang membunuh para jendral di Lubang Buaya. Tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Benny bersaksi bahwa pembunuhan itu perintah Soeharto. ‘Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya pada kami. Saat itu tak ada orang yang berani mempertanyakan keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan bisa ikut dibunuh’ (hlm. 34).

Masyarakat diyakinkan bahwa PKI adalah partai yang berbahaya karena (1) mengkampanyekan land-reform yang melawan tuan-tuan tanah; (2) mereka telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati; dan (3) mereka adalah kaum ateis yang tidak mengenal Tuhan, karena ideologi mereka komunis. Benny tidak percaya pada isu tersebut karena: pertama,  bagaimana mungkin PKI akan menyerang mereka karena mereka tidak punya senjata sama sekali; dan kedua, orang-orang yang dibunuh itu sangat khusuk berdoa.

Dengan jelas, Benny merekonstruksi pola pembantaian terhadap orang-orang PKI yang mereka lakukan sebagai berikut. (1) Orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI dijemput dari rumah mereka dan ditahan; (2) Tentara (sebanyak 30 orang, kebanyakan suku Jawa, datang dari Kupang) menentukan giliran siapa yang dibunuh terlebih dahulu; (3) Para tahanan diperintahkan menggali lubang pemakaman mereka sendiri di siang hari; (4) Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, para tahanan disiksa hingga babak belur, tangan mereka diikat dan disuruh naik truk; (5) Sebelum tiba di tempat eksekusi, mata mereka ditutup; (6) Tiba di lokasi eksekusi, mereka disuruh menghadap regu tembak membelakangi lubang; (7) Orang-orang PKI diberondong peluru. Jika setelah ditembak masih belum mati, mereka ditusuk dengan sangkur dan didorong masuk ke dalam lubang; (8) Lubang ditutup dan regu penembak meninggalkan tempat itu (hlm. 35-36).

Selama dua tahun, 1966-1967, Benny mengaku telah membunuh 17 orang PKI. Hal itu hampir membuatnya gila (mei nawa, pusing darah). Seorang temannya, Baltazar, dari Flores benar-benar menjadi gila dan berhenti dari dinas kepolisian.

Kisah selanjutnya adalah menyeruaknya rasa bersalah, pertobatan, dan pemulihan batin Benny. Tiga tahun setelah menikah, mereka tak dikaruniai anak. Pada saat yang sama, perilaku Benny menjadi sangat temperamental, rasa bersalah karena telah membantai manusia layaknya membantai binatang selalu menghantuinya. Atas saran beberapa orang, Benny menjalankan ritus penyembuhan adat dan agama. Ketika pada tahun ketiga lahir putri sulung mereka,Maria, Benny percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.

Sebuah fenomena lain yang muncul, yang barangkali akan menemukan momentumnya adalah dendam dan pembalasan dari pihak korban. Dalam kisah Benny, seorang anggota keluarga korban mendatangi rumah Benny dan menudingnya sebagai pembunuh anggota keluarganya. Hal yang menarik dari kisah ini adalah visi dan semangat anak-anak Benny (seluruhnya berjumlah tujuh orang), yang berusaha untuk mengenal dan berdamai dengan keluarga korban: para istri dan anak-anak orang PKI yang ditinggalkan. Mereka bahkan merekam cerita-cerita keluarga korban ini tentang penderitaan dan kekuatan mereka dalam bertahan hidup, sebagai bagian dari upaya untuk penyembuhan luka batin dan trauma kolektif.

Beberapa Skenario Soeharto yang Terbantahkan
Sejak berakhirnya rezim totaliter Orde Baru di tahun 1998, kisah-kisah mengerikan yang dialami korban Tragedi 1965 mulai dipublikasikan. Beberapa di antaranya adalah: Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko (2003); Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno (2003); Tahun yang Tak Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-esai Sejarah Lisan karya John Rossa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004); Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004);  Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F Webb dan Steven Farram (2005), Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar Demokrasno (2006); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006); Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi karya Antonius Sumarwan (2007); dan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66 karya Putu Oka Sukanta (2011). Daftar ini agaknya masih akan terus bertambah.[4]

Membaca dan mempelajari buku-buku kesaksian tersebut, tampak jelas bahwa skenario, grand design atau big picture yang dibuat di Jakarta oleh rezim Orde Baru mengenai G30S, seperti yang terungkap dalam Buku Putih Sekretariat Negara RI (1994), Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), tidak terbukti. Disebutkan  bahwa Gerakan 30 September merupakan sebuah gerakan massal. Gerakan itu tidak hanya dilakukan di Jakarta (Lubang Buaya), melainkan secara serempak direncanakan, diketahui, dan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam Bab IV ‘Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ dijelaskan persiapan ‘perebutan kekuasaan’ yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bali, dan NTT. Dalam Bab V ‘Pelaksanaan Aksi Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ diungkap pelaksanaan G30S di berbagai wilayah di Indonesia (seperti disebutkan di atas, ditambah daerah Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain).

Sudah banyak sekali kesaksian yang telah beredar dan membuktikan bahwa gambaran-gambaran tersebut tidak benar serta sangat tidak beralasan. Perhatikan beberapa kesaksian berikut ini.

(1)  Tentang dokumen PKI dan senjata yang sudah disebar ke daerah-daerah
Asman Yodjodolo (ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sulawesi Tengah, yang memiliki sekitar 60.000 anggota): mengaku dipaksa menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima beberapa senjata untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya, dia akan menerima siksaan bertubi-tubi.[5]

Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara): selalu ditanyakan tentang dokumen G30S PKI yang konon sudah tersebar ke Buton. Dituduhkan juga bahwa ada sebuah Kapal TNI AL yang singgah dan menurunkan 500 pucuk senjata untuk melakukan kudeta di kawasan Buton. Lambatu dan tahanan-tahanan lainnya membantah dengan keras bahwa dia mengetahui dokumen dan senjata-senjata itu. Akibatnya sangat jelas: mereka mengalami siksaan di luar peri kemanusiaan yang adil dan beradab (hlm. 71-72).

Wardik (Medan): ditahan, disiksa, dan dipaksa untuk mengaku bahwa dia menyembunyikan senjata PKI dalam jumlah banyak. Bukan hanya Wardik yang disiksa tetapi juga kakak perempuannya. Ayah Wardik bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas (hlm. 294-296).

(2)  Tentang lubang-lubang yang sudah disiapkan di daerah
PKI di daerah-daerah disebutkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Benny, pensiunan polisi yang menjadi salah satu algojo dalam pembantaian PKI di SoE, NTT, tidak melihat kemungkinan itu karena dia tahu bahwa PKI tidak memiliki senjata (hlm. 33). Adapun Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara) membantah tuduhan bahwa pengurus PKI telah menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur para korbannya (hlm. 71).

Penutup
Dalam delapan tahun, BtS Israel telah mempublikasikan ratusan testimoni mengenai perlakuan di luar perikemanusiaan tentara Israel terhadap warga Palestina. Dalam 47 tahun pasca-Tragedi 65, testimoni korban Tragedi 1965 belum mencapai ratusan. Buku ini menyumbang 15 buah testimoni para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Semakin banyak kesaksian yang membuktikan bahwa pembantaian pasca-Tragedi 1965 tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja, melainkan hampir merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah pelosok yang sangat terisolasi.

Mengingat Tragedi 1965 merupakan salah satu Tragedi terdahsyat di dunia pada abad ke-20, kita membutuhkan lebih banyak lagi testimoni untuk menghalau lupa yang terlalu mudah menyerang bangsa kita. Tragedi 1965 tidak boleh dilupakan. Ia perlu terus direnungkan agar kita senantiasa mendapat pelajaran darinya untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Salah satu model publikasi yang belum banyak dilakukan di Indonesia adalah menuliskan berbagai macam kesaksian tentang berbagai tragedi yang terjadi dalam bentuk cerita anak-anak dengan ilustrasi yang menarik untuk dikonsumsi anak-anak. Berbagai contoh penerbitan seperti ini mudah kita temukan. Untuk tragedi Holocaust, terdapat buku anak-anak seperti: The Underground Reporter: Kisah Nyata (Kathy Kacer), Hanna’s Suitcase (Karen Levine). Dalam tragedi Pol Pot Khmer Merah, buku-buku seperti First They Killed My Father: A Daughter of Cambodia Remembers (Luong Ung), When Broken Glass Floats: Growing Up Under the Khmer Rouge (Chanrithy Him), dan Stay Alive My Son (Pin Yathay), yang benar-benar ditujukan untuk dikonsumsi anak-anak.

Kisah-kisah nyata yang dialami anak-anak pada zamannya dapat dituturkan secara mengagumkan sekaligus mengharukan. Dengan demikian, anak-anak sekarang dapat mengetahui perjuangan anak-anak dan pemuda Indonesia dalam masa-masa gelap (dark past). Dengan memahami berbagai tragedi bangsa yang besar, yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda, anak-anak sekarang dapat tumbuh dengan sense of history dan membangun kesadaran serta penghormatan akan hak-hak dasarnya sebagai manusia.

——————————————

Catatan Redaksi:
Review ini sebelumnya merupakan makalah yang dibacakan dalam acara Peluncuran Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, (Putu Oka Sukanta, Ed, 2011 Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusiaan), tanggal 29 Januari 2012.

Penulis saat ini tengah melakukan studi tentang ‘Representasi Tragedi 1965: Sebuah Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra Tahun 1966-1998.’ Dapat dihubungi di email: khmer_rouge2000@yahoo.com).


[1] Eksekutif Direktor BtS adalah Yehuda Shaul dan Direkturnya adalah Mikhael Manekin. BtS muncul tahun 2004, diawali dengan pameran foto tiga personel tentara (Avichai Sharon, Yehuda Shaul, dan Noam Chayut) yang pernah bertugas di Hebron. Ketiga personel ini berkeinginan untuk membuka mata orang Israel tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pameran ini menarik minat banyak orang untuk bergabung dan terbentuklah LSM BtS. (lihat Breaking the Silence: Woman’s Soldiers’ Testimonies, Booklet, Printed in Jerusalem, 2009. Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011. (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010). Buku-buku ini tersedia secara online di: http://www.breakingthesilence.org.il.

[2] Saya tidak percaya pepatah yang menyebut “homo homini lupus” (manusia cenderung menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya). Istilah itu hanya benar pada level hasrat kekuasaan tetapi bukan pada naluri purba insani.

[3] Lihat cerpen Di Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Perempuan dan Anak-anaknya karya Gerson Poyk, Ancaman karya Ugati. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari juga memperlihatkan simpati dan tindakan tokoh Rasus yang menyelamatkan Srintil. Dalam permenungannya tentang fungsi dan peranan tentara, Rasus memutuskan untuk ‘keluar’ dari dinas ketentaraan karena tentara Indonesia di tahun 1960-an tidaklah seperti yang diidealkan masyarakat Jawa: serupa Gatot Kaca.

[4] Selain itu, telah hadir pula kesaksian-kesaksian dalam bentuk VCD.

[5] Asman memberi kesaksian bahwa tahun 1965, PKI di Sulawesi Tengah sangat maju karena pimpinannya hebat, serba bisa.

 

Dipetik dari indoprogres.com

Tulisan terkait

Pelatihan PAR dalam Poses Pemulihan Korban Pascabencana

Rini Lestari

Monitoring Dapur Usaha Desa Potoya

Rini Lestari

Pernyataan Pers Presiden RI tentang Pelanggaran HAM Berat

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar