27 C
Palu
19 Maret 2024
Tragedi 1965/1966

Ditelanjangi Sampai Jadi Pengganti Kerbau

“Penyiksaan demi penyiksaan kami alami, tenaga kami diperas secara gratis. Bila telat sedikit saja kita disuruh berendam di sungai pada waktu tengah hari dalam keadaan telanjang,”

Laporan: Andi Besse Fatimah

Asman Yojodolo (69) mengingat momen-momen kelam hidupnya antara tahun 1966-1978. Saat ditangkap aparat ketika itu, Asman adalah pimpinan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Ia dijebloskan karena IPPI dicap sebagai organisasi PKI.

Baik Asman maupun Rafin Pariuwa (74), keduanya menegaskan bukan bagian dari PKI. Meskipun sudah 34 tahun yang lalu menghirup udara bebas, stigma negatif terhadap mereka masih dirasakan. Pemerintahan Orde Baru membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga negara. Walaupun telah bebas dari penjara, mereka tetap diwajibkan melapor. Bahkan di KTP dibubuhi tanda ET atau eks Tapol. Akibatnya, keluarga mereka tidak mendapat hak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun militer. Yang lebih menyakitkan adalah dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.

Para korban pelanggaran HAM ini mengungkapkan keinginan mereka kepada pemerintah. Yang tidak muluk-muluk adalah nama baiknya dipulihkan, penghargaan yang sama dari pemerintah dan tidak dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng mengidentifikasi 173 laki-laki korban pelanggaran HAM kerja paksa 1967-1978. 71 orang di antaranya sudah meninggal dunia. Sementara itu, korban perempuan yang tercatat 57 orang, 25 orang di antaranya meninggal dunia.

Tapi jumlah korban diperkirakan masih banyak. SKP-HAM Sulteng mencatat sebanyak 7.932 orang di Sulteng pernah menjadi korban kerja paksa. Para korban yang merupakan Tapol di masa lalu itu tersebar di Parigi, Donggala, Sigi dan Kota Palu. Sebanyak 600 orang di antaranya masih hidup hari ini.

Ketika membawa para eks Tapol ini melakukan napak tilas lokasi kerja paksa, Jumat pekan lalu (9/11), Sekjend SKP-HAM Sulteng, Nurlaela AK Lamasituju, mengatakan di Palu terdapat 15 tempat yang pernah menjadi lokasi kerja paksa.

Dari cerita para korban yang masih hidup, mereka diperkerjakan antara lain di Jalan Palu-Parigi; Palu-Kulawi; membendung Sungai Palu di Kalikoa, Kelurahan Ujuna, Palu Barat; di rumah-rumah pribadi penguasa militer saat itu; dipekerjakan di sawah sebagai pengganti kerbau; kerja pengaspalan di Kalukubula; serta membangun gedung-gedung pemerintah seperti kantor walikota Palu, camat, dan kantor gubernur.

Lainnya adalah membangun menara Stasiun TVRI Sulteng, gedung Maggala Sakti Korem 132 Tadulako, Jalan Basuki Rakhmat serta Jalan Mohamad Yamin dan halaman kantor Walikota Palu. Kerja paksa pertama dilakukan sewaktu membendung banjir bandang yang melanda Sungai Palu, Kalikoa. Sementara kantor Walikota merupakan kerja paksa terakhir.

Para korban perempuan juga tidak kalah mengalami pekerjaan berat. Setelah apel pagi, setiap hari mereka dipekerjakan tanpa diberi makan. Antara lain di kantor Camat Tavaili atau di rumah pejabat. ***

 

Sumber: www.mercsuar.com

Tulisan terkait

Earthquake and Tsunami a Deadly Blow to Indonesia’s Human Rights Movement

Vannessa Hearman

Melepas Belenggu dan Trauma Politik Masa Lalu

Lia Fauziah

Watimpres: Sulit Selesaikan Kasus HAM

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar