32.4 C
Palu
19 April 2024
Video

Hanya Engkau yang Kunanti

Kasus pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu yang sampai saat ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan adalah kasus penghilangan paksa.[1] Korban penghilangan paksa ini semuanya berjumlah empat orang, dan terjadi dalam dua peristiwa yang terpisah.

Peristiwa pertama, hilangnya tiga orang petinggi PKI Sulteng, yaitu Abd. Rahman Dg. Maselo, S. Chaeri Ruswanto, dan Sunaryo, yang diambil dari Penjara Donggala pada akhir Mei 1967; dan peristiwa kedua, hilangnya Zamrud di sekitar Juni-Juli 1967.[2] Dua di antara empat orang yang hilang itu, Abd. Rahman Dg. Maselo dan Zamrud, keluarganya merupakan warga Kota Palu.[3]

Ini adalah kisah dari Maryam Labonu, istri dari Abd. Rahman Dg. Maselo, salah seorang korban penghilangan paksa itu.
 

Kisah mengenenai Marya Labonu, bisa dibaca juga di artikel berikut ini:  Eks-Tapol Minta Kerangka Suaminya Dikembalikan.

 


[1] Pertanyaan yang sampai saat ini masih belum terjawab, mengapa keempat orang—khususnya, tiga orang petinggi PKI Sulteng—ini yang dihilangkan? Jika yang disasar adalah para petinggi PKI Sulteng, selain ketiga orang itu tidak ada lagi petinggi PKI Sulteng yang dihilangkan. Jika melihat kondisi umum, Kota Palu pasca-Peristiwa G30S relatif cukup kondusif, terkendali, dan sama sekali tidak ada pertumpahan darah. Sementara, jika melihat konteks nasional, pada pertengahan 1967 itu relatif sudah mereda “pembantaian besar-besaran” terhadap mereka yang dianggap PKI.

[2] Jabatan keempat orang korban penghilangan paksa itu adalah sebagai berikut: Abd. Rahman Dg. Maselo, Sekretaris I (Ketua) PKI Sulawesi Tengah, pimpinan periodik Front Nasional Provinsi Sulawesi Tengah, dan Anggota DPRD Kabupaten Donggala; S. Chaeri Ruswanto, Sekretaris II (Wakil Ketua) PKI Sulawesi Tengah, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, wartawan ANTARA, dan pemimpin redaksi Harian Mimbar Rakyat; Sunaryo, Ketua Pemuda Rakyat Sulawesi Tengah; Zamrud, aktivis partai yang sedang dipersiapkan untuk menjadi Ketua PKI Kabupaten Donggala.

[3] Keluarga S. Chaeri Ruswanto kini tinggal di Bambalemo, Kabupaten Parigi Moutong; sedangkan keluarga Sunaryo sudah kembali ke Jawa, setelah sebelumnya tinggal di Maesa, Palu.

 

Tulisan terkait

145 Korban Pelanggaran HAM di Sulteng Terima Bansos Prioritas, Ini Keistimewannya

Athirah Winarsih

Penyerahan Kompensasi Bagi Korban 1965/1966

Tomzil Prafdal

Mariana: “Saya Tidak Malu Jadi Anak Korban”

Desmayanto

Tinggalkan Komentar