29.8 C
Palu
29 Maret 2024
Aktivitas

SKP-HAM Sulteng Akan Dampingi Korban Dugaan Kekerasan Aparat Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law

PALU – Malang betul nasib Muh. Rifkal. Pemuda berusia 23 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan ini, menjadi korban dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat yang berusaha menghalau aksi unjuk rasa mahasiswa, Rabu (8/10/2020).

Akibat dugaan tindak kekerasan tersebut, Muh. Rifkal menderita luka robek empat jahitan di kepala, serta luka robek di bagian kaki. Dirinya mendapatkan penanganan oleh tim medis Rumah Sakit (RS) Bhayangkara. Namun, karena pihak Polda Sulteng tidak menanggung biaya pengobatan, dan BPJS tidak bisa diklaim untuk cedera akibat demonstrasi, Rifkal terpaksa pulang dari RS, ditemani orang tuanya dan pihak Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng yang menyatakan siap mendampingi.

Ibunda Rifkal, Karmi, yang dikonfirmasi, Kamis (9/10/2020), menceritakan kronologis kejadian. Rabu (8/10/2020) sore, Rifkal keluar dari rumahnya di lorong samping masjid Sabilul Muhtadin, Jalan Sam Ratulangi, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur bersama ibunya ke jalanan di depan masjid. Rifkal, ibunya, dan beberapa warga setempat merekam situasi ricuh aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa se-Kota Palu menuntut pencabutan UU Omnibus Law dengan gawai mereka.

“Ini anakku kemarin, kita menonton semua kejadian kedua (ricuh unjuk rasa, red.), gas air mata sampai ke depan mesjid. Demo pertama kami belum keluar rumah. karena ada tembakan di demo kedua, saya dan anak saya keluar mengambil gambar, gas air mata itu sampai di sini sudah pedisnya, kami dengan tetangga keluar dari rumah semua,” jelas Karmi.

Aksi unjuk rasa menolak dan mendorong pencabutan UU Omnibus Law di depan gedung DPRD Provinsi Sulteng, Rabu (8/10/2020), berakhir ricuh. Saling lempar batu terjadi antara aparat dan mahasiswa. Tembakan gas air mata dan water canon dikerahkan untuk menghalau massa aksi.

Akibat kericuhan ini, massa aksi berhamburan lari menyelamatkan diri. Aparat lantas mengejar mereka.

Karmi menceritakan, aparat mengejar pendemo sampai ke belakang rumahnya. Menurut Karmi, karena melihat pendemo dikejar aparat, Rifkal yang saat itu berada di belakang rumah, juga spontan lari. Malang, Rifkal dianggap sebagai salah seorang pendemo dan diduga mengalami tindak kekerasan oleh oknum aparat.

“Karena kepedisan akibat gas air mata, semua anakku saya suruh masuk rumah, pakai odol supaya tidak pedis. Karena pedis gas air mata di depan jalan, mereka ke belakang rumah. Karena dia lihat ada polisi mengejar pendemo sampai di belakang rumah, dia spontan lari juga. Dikira pendemo, anakku ditangkap, dipukul pakai kayu, diinjak, banyak polisi ba pukul,” cerita Karmi.

Lanjut Karmi, saat dipukuli, Rifkal hanya terduduk sambil berusaha melindungi wajah dan kepalanya. Usai dipukuli, Rifkal dibawa menuju Polda Sulteng. Mengetahui anakknya dibawa ke Polda, Karmi berbegas menyusul anaknya.

Di depan Polda Sulteng, Karmi menceritakan, dirinya sempat mengomel meminta anakknya dilepaskan, karena anaknya bukan pendemo.

Karena mengalami cedera, Rifkal dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan perawatan. Beberapa saat kemudian, dirinya dibawa kembali ke Polda untuk dimintai keterangan, hingga sekitar pukul 24.00 WITA.

“Habis diperiksa sempat dirawat lagi, karena dia so rasa sakit kepalanya dan pusing. Saya minta tolong dengan teman SKP-HAM, supaya Rifkal dibawa ulang ke rumah sakit. Tapi karena rumah sakit bilang biayanya umum tidak ditanggung BPJS, jadi kami bawa pulang,” ujarnya.

Pihak kepolisian kata Karmi, berkeras jika Rifkal adalah salah seorang pendemo dan melakukan pelemparan. Namun, hal ini dibantah oleh Karmi.

“Saya juga berkeras, memangnya saya punya anak ada batu di tangannya? Ada video yang buktikan dia pegang batu? Mereka (polisi, red.) bilang dia pake odol, saya bilang karena gas air mata sampai di sini (depan rumah red.), saya suruh dorang pake odol karena perih,” jelas Karmi.

Karmi mengaku keberatan dengan dugaan kekerasan yang dialami oleh anaknya. Menurutnya, aparat seharusnya menjadi pengayom.

“Kalau ada bukti video anakku ba lempar, saya tidak keberatan. Tapi ini tidak ada videonya. Polisi harusnya jadi pengayom. Saya keberatan anakku dianiaya, Dia sudah mengaku bukan mahasiswa, tapi tetap dianiaya, diseret kayak binatang, dia bukan pendemo,” ujarnya.

Rifkal sendiri saat ini terbaring lemah di rumahnya dan harus beristirahat akibat luka robek yang diderita di kepala dan kakinya. Selain itu, Rifkal juga mengeluh sakit di bagian dadanya.

Sekretaris Jenderal SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju, Kamis (9/10/2020), menegaskan akan mengawal kasus dugaan tindak kekerasan oleh aparat ini. Kata dia, aparat seharusnya tidak bertindak represif untuk mengamankan situasi unjuk rasa, terlebih terhadap masyarakat yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang aksi tersebut.***

Tulisan terkait

Doa Bersama Untuk Korban Penghilangan Paksa di Sulteng

Nurlaela Lamasitudju

Dialog Kemanusiaan : Napak Tilas Sejarah 17 Titik Kerja Paksa di Palu

Nurlaela Lamasitudju

SKP-HAM Sulteng Latih Relawan Dampingi Korban Kekerasan

SKP-HAM Sulteng

Tinggalkan Komentar