32 C
Palu
19 Maret 2024
Utama

Simpulan & Rekomendasi Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu

Simpulan

Penelitian dan verifikasi ini menemukan sejumlah fakta, Peristiwa 1965/1966 yang diawali oleh Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, imbas dan dampaknya terjadi juga di Kota Palu. Sebagaimana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, di Kota Palu pun pada saat itu terjadi “pembersihan” terhadap mereka yang terlibat di Partai Komunis Indonesia berserta dengan segenap elemen-elemennya.

Sebagai bagian dari upaya “pembersihan” ini, di Kota Palu terjadi penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap mereka yang tergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dianggap sejalan dan bersimpati dengan ideologi komunisme, atau (hanya) dituduh begitu saja sebagai bagian dari PKI. Tindak penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan itu sendiri bisa dikategorikan sebagai perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas atau ketentuan pokok hukum karena tidak didasari dengan bukti dan kejelasan kesalahan. Dalam perpektif hak asasi manusia, tindakan demikian bisa digolongkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia; dan mereka yang mengalami tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia.

Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang muncul terkait dengan Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu yang dicatatkan secara lebih mendalam di dalam penelitian dan verifikasi ini adalah penyiksaan (satu kasus di antaranya adalah yang sampai menyebabkan kematian); wajib lapor dan kerja paksa; penghilangan orang secara paksa; dan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut sekurang-kurangnya dialami oleh 485 warga Kota Palu yang berhasil diverifikasi dan mau membagikan informasinya untuk penelitian ini. Para korban yang bersedia diverifikasi ini berasal dari enam kecamatan dan tersebar di 19 kelurahan. Palu Utara tercatat sebagai kecamatan yang paling banyak dihuni oleh korban, yaitu sebanyak 326 orang.

Mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965/1966 tersebut kemudian harus mengalami dampak berkepanjangan. Kehidupan mereka dan keluarganya diabaikan oleh negara. Selama rezim Orde Baru, dengan diterapkannya berbagai kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, mereka harus kehilangan hak-hak sipil dan politik; sedangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka pun dibatasi. Mereka mengalami stigmatisasi dan diskriminasi secara sistematis, dipinggirkan secara sosial, “dimiskinkan” secara ekonomi karena kehilangan dan tertutupnya berbagai akses dan kesempatan (terutama akses terhadap pendidikan dan pekerjaan), sehingga mereka hidup seperti dalam “kotak isolasi” yang itu pun penuh dengan tekanan dan ancaman.

Secara sosial-ekonomi, mereka yang menjadi korban sebagian besar hidup sebagai masyarakat yang tergolong miskin. Secara mental-psikologis, sampai saat ini, sebagian korban masih tetap dibayangi dengan trauma yang mendalam. Masih kuatnya trauma itu pula yang menjadi salah satu sebab, ada sejumlah korban yang menolak untuk diverifikasi dan mau membagikan informasi berkenaan dengan apa yang terjadi dan pernah mereka alami.

Konteks Peristiwa 1965/1966 yang teradi di Kota Palu memiliki karakteristik yang boleh disebut berbeda dengan Peristiwa 1965/1966 yang juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tidak sebagaimana yang terjadi di Sumatera, Jawa, Bali, dan sejumlah wilayah Sulawesi lainnya, Kota Palu terhindar dari adanya “banjir darah”. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi, situasi dan kondisi di Kota Palu relatif cukup terkendali. Di samping kasus penghilangan paksa terhadap empat orang, jatuhnya korban jiwa relatif sedikit.

Faktor paling kuat yang berhasil menjaga Kota Palu dari adanya “banjir darah” pada peristiwa ini adalah karena masyarakat Suku Kaili, yang menjadi mayoritas warga Kota Palu, memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat erat dan kuat. Ketika Peristiwa 1965/1966 terjadi di Kota Palu, masyarakat Suku Kaili rupanya tetap menjunjung tinggi filosofi belontana data nosampesuvu (atau posampesuvu, rasa kekeluargaan), yang dalam praktiknya hal itu berwujud saling menjaga dan melindungi satu sama lain.

Filosofi itu pula yang secara langsung atau tidak kemudian bisa membukakan jalan yang lebih lapang ketika ada niat dan keinginan untuk mulai melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat. Di tengah adanya stigmatisasi dan diskriminasi sistematis terhadap para korban, benih-benih rekonsiliasi sesungguhnya sudah mulai tersemai. Benih-benih itu kian tumbuh di era reformasi, ketika berbagai hal yang terkait Peristiwa 1965/1966 mulai tidak lagi dianggap tabu dan sering dibicarakan. Pengakuan Sersan Bantam—salah seorang tentara yang turut membawa tiga orang tanahan dari Penjara Donggala yang kemudian dihilangkan secara paksa—yang, dengan kesadaran diri dan rasa kemanusiannya, memberikan informasi terperinci mengenai proses penghilangan paksa terhadap ketiga tahanan yang dibawanya kepada keluarga korban, menjadi satu tonggak penting bagi bergulirnya proses rekonsiliasi di Kota Palu. Sekurang-kurangnya, pengakuan dari Sersan Bantam itu telah membawa secercah titik terang kebenaran bagi keluarga korban.

Tonggak penting lainnya dalam proses rekonsiliasi di Kota Palu ini adalah disampaikannya permintaan maaf dari Walikota Palu, H. Rusdy Mastura, kepada warga Kota Palu yang menjadi korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 pada 24 Maret 2012. Permintaan maaf Walikota Palu itu merupakan langkah terobosan berani yang patut diapresiasi dan dihargai. Ketika negara, dalam hal ini pemerintah pusat di Jakarta, masih gamang dalam menyikapi Peristiwa 1965/1966, Walikota Palu justru mengakui akan adanya kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa dan negara ini di masa lalu.

Permintaan maaf Walikota Palu yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (Perwali) Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Daerah yang memandatkan adanya pemenuhan HAM bagi para korban pelanggaran HAM, membuka babak baru bagi para korban pelanggaran HAM di Kota Palu. Ini bisa menjadi pintu untuk menembus kebuntuan dan kebekuan dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ada harapan dan sekaligus niat, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama kini akan mencari solusi terbaik untuk memutus ketidakadilan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh para korban.

Perwali itu sendiri memang bukanlah hasil sempurna, yang sanggup mengakomo-dasi semua hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM yang telah berpuluh tahun diperjuangkan. Akan tetapi, terlepas dari segala kekurangan yang ada, terber-sit seberkas harapan, para korban pelanggaran HAM itu, sekurang-kurangnya, kini telah bisa “diakui” keberadannya: bahwa mereka nyata adanya, patut mendapatkan perhatian, bukan semata-mata karena mereka warga Kota Palu dan warga negara Indonesia yang secara konstitusional memiki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Lebih dari itu, mereka memang layak untuk mendapatkan perhatian khusus karena selama berpuluh tahun negara telah abai terhadap mereka dan telah merampas hak-hak mereka sebagai manusia.

Rekomendasi

Berangkat dari kesimpulan tersebut, berikut adalah sejumlah rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kota Palu :

  1. Pemerintah Daerah Kota Palu harus menuangkan permintaan maaf Walikota terhadap para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 secara tertulis yang bisa dijadikan sebagai dokumen resmi.
  2. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera menindaklanjuti “Surat Keterangan Korban” dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia yang diberikan kepada para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bagian untuk memenuhi harapan terbesar korban yang menghendaki rehabilitasi nama baik. Upaya tindak lanjut yang dimaksud adalah dengan mengeluarkan “Surat Keterangan Khusus” yang secara resmi diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kota Palu. Dengan surat keterangan khusus tersebut para korban setidaknya akan mendapatkan “pengakuan awal” yang terlegitimasi dari lembaga negara yang berwenang dan Pemerintah Daerah sebelum Negara Republik Indonesia benar-benar bisa memberikan rehabilitasi nama baik kepada mereka.
  3. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk terus melakukan berbagai terobosan di ranah penegakkan hak asasi manusia, dan senantiasa menjadikan hak asasi manusia sebagai perspektif serta dasar pijakan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah.
  4. Pemerintah Daerah Kota Palu harus segera mengimplementasikan Perwali Nomor 25 Tahun 2013 untuk memberikan program pemenuhan hak asasi manusia kepada pada korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 sebagaimana yang dimandatkan dengan mengacu pada data korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang telah terverifikasi.
    • Merumuskan dan merancang program pemenuhan HAM bagi para korban secara lebih terencana, terintegrasi, dan saksama agar setiap SKPD, teruta-ma dinas-dinas dan lembaga-lembaga yang menjadi penyedia layanan, bisa menjalankan program-program pemenuhan HAM bagi para korban secara efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
    • Mengutamakan pemenuhan HAM terhadap korban langsung, terutama yang berkenaan dengan penenuhan hak di bidang kesehatan (karena para korban langsung kini sudah lanjut usia dan kondisi mereka sering sakit-sakitan), hak di bidang perumahan (agar di masa tuanya mereka memiliki tempat tinggal yang lebih layak), dan hak di bidang ekonomi, yang di antaranya bisa dalam bentuk bantuan modal usaha (selain bisa membantu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian keluarga, bantuan modal usaha ini pun bisa ditujukan untuk mengisi aktivitas para korban di masa tua mereka sebagai bagian dari proses pemulihan trauma).
  5. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengambil langkah-langkah konkret dan langkah-langkah afirmatif, sekurang-kurangnya yang sesuai dengan kesanggupan dan kewenangan, baik di tataran politik-kebijakan, sosial-ekonomi, maupun psiko-sosial, di samping menjalankan program pemenuhan HAM sebagai-mana yang dimandatkan Perwali.
  6. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menjaga dan memperkuat proses rekonsiliasi yang selama ini telah dirajut agar bisa terus berlanjut dan berdampak lebih luas. Langkah-langkah yang bisa dilakukan di antaranya adalah dengan memberi dan membuka ruang lebih lebar kepada para korban untuk “mengungkapkan kebenaran” atas peristiwa yang pernah mereka alami dan melibatkan mereka secara penuh untuk turut berpartisipasi dalam berbagai proses tahapan dan kegiatan pembangunan di Kota Palu tanpa dihantui dengan ketakutan dan kecemasan serta adanya tekanan, ancaman, stigmatisasi, dan diskriminasi sebagaimana yang pernah terjadi dan mereka alami di masa lalu.
  7. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap para korban yang mengalami kerja paksa di Kota Palu; dan sekaligus menandai lokasi-lokasi tempat kerja paksa tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan dan pertumbuhan Kota Palu. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa proses pembangunan sejumlah infrastruktur, fasilitas, dan sarana publik yang kini ada dan dinikmati oleh warga Kota Palu merupakan hasil jerih payah dan kontribusi dari para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang kala itu dipekerjapaksakan.
  8. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk melakukan verifikasi lanjutan terhadap anak-anak korban sebagai “korban terdampak langsung”, agar mereka bisa menikmati program pemenuhan HAM secara lebih merata dan tepat sasaran. Proses verifikasi terhadap korban Peristiwa 1965/1966 baru mencakup korban langsung; sementara, program pemenuhan HAM yang dimandatkan oleh Perwali mencakup juga keluarga (anak-anak dan cucu korban) yang merupakan “korban terdampak langsung”.
  9. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk mengusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasukkan materi Hak Asasi Manusia dan Konteks Peristiwa 1965/ 1966 di Kota Palu sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, sekurang-kurangnya sebagai muatan lokal.
  10. Pemerintah Daerah Kota Palu perlu untuk menyosialisasikan hasil penelitian dan verifikasi ini kepada berbagai pihak, khususnya kepada segenap warga Kota Palu, agar informasi mengenai pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang terjadi di Kota Palu bisa menjadi pengetahuan dan bahan pembelajaran bersama untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa depan.

 

Unduh Ringkasan Eksekutif Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu :

 

Tulisan terkait

SKP-HAM Telah Memanusiakan Manusia

Desmayanto

Palu sebagai Roll Model Rekonsiliasi Korban Pelanggaran HAM 1965/1966

SKP-HAM Sulteng

Bangkit Bermental Pengrajin Bukan Buruh Tenun

Zikran Yakala

Tinggalkan Komentar